RSS

Makna Panggilan Kitab Yesus bin Sirakh dan Relevansinya bagi Calon Katekis Dewasa ini



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang Masalah
Edisi kitab Yesus bin Sirakh (Ecclesiasticus) yang direproduksi di Deuterokanonika terbitan Lembaga Biblika Indonesia (LBI berlatarbelakang Katolik Roma, LAI berlatarbelakang Protestan) merupakan terjemahan dari terjemahan Yunani dari kitab ini, yang ditandai dengan adanya pengantar kitab Yesus bin Sirakh terjemahan Yunani di awal kitab ini. Kitab Yesus bin Sirakh memiliki bermacam-macam judul, menurut sejarahnya. Aslinya dikenal sebagai “Kebijaksanaan bin Sirakh” atau “Amsal bin Sirakh”; dalam versi Latin disebut Liber Ecclesiasticus (“Buku Gereja”).
Dari 46 kitab Perjanjian Lama, hanya kitab Yesus bin Sirakhlah yang menuangkan dengan sangat jelas siapa penulisnya. Nama penulis kitab Yesus bin Sirakh jelas diperkenalkan dalam penutup kitabnya: “Yesus bin Sirakh bin Eleazar dari Yerusalem” (Sir 50:27). Dari situ dapat dilihat bahwa jelaslah orang yang bernama Yesus bin Sirakh ini adalah seseorang yang berkediaman di Yerusalem dan menguasai kitab-kitab Kudus bangsanya. Dengan kata lain, Yesus bin Sirakh merupakan seorang ahli Kitab.
Kitab ini berisi permenungan dan pengajaran Yesus bin Sirakh bin Eleazar dari Yerusalem mengenai berbagai masalah kehidupan (bdk. Sir 50:27-29). Kitab Yesus bin Sirakh mau mendidik dan mengajarkan “seni hidup”. Dalam kitabnya terdapat amat banyak nasehat dan anjuran yang sangat praktis dan mengena. Kitab ini secara khusus mengagungkan hukum Taurat sebagai sumber kebijaksanaan dan pusaka bagi bangsa Israel (bdk. Sir 24:23-34). Ia juga membanggakan nenek moyang bangsa Israel yang berkenan kepada Tuhan dan menjadi teladan sepanjang masa (bdk. Sir 44-49). Kitab ini ditulis oleh Yesus bin Sirakh dalam bahasa Ibrani, tetapi kemudian diterjemahkan oleh cucunya dalam bahasa Yunani (bdk. Kata Pengantar).
Kitab Sirakh merupakan kitab yang amat kompleks baik dari segi isi, terjemahan maupun perkembangannya. Tradisi kitab yang masuk dalam daftar Kitab Suci ini menunjukkan betapa kompleksnya permasalahan. Kitab ini pada awalya ditolak oleh daftar Kitab Suci Ibrani dan dianggap sebagai apokrif atau deuterokanonik. Naskah Ibrani pernah hilang, dan kemudian ditemukan sebagian, tidak diketahui kecuali dalam bentuk terjemahan. Namun demikian kitab ini mengandung pesan mendalam dan kekayaan rohani yang menawan.
Melihat pernyataan di atas, penulis merasa tertarik untuk menulis sebuah karya tulis dengan judul: “MAKNA PANGGILAN KITAB YESUS BIN SIRAKH DAN RELEVANSINYA BAGI CALON KATEKIS DEWASA INI”.
Penulis berharap, agar para calon katekis dan khususnya para kaum awam lainnya dapat semakin memahami makna panggilan dari kitab Yesus bin Sirakh dan dapat menemukan hikmat kebijaksanaan sehingga dapat mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari guna menjadi orang yang semakin bijak.

1.2.            Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, penulis dapat merumuskan beberapa permasalahan yang hendak dikaji dalam karya tulis ini yakni sebagai berikut:
1.2.1.      Bagaimana judul dan penulisan kitab Yesus bin Sirakh?
1.2.2.      Bagaimana latar belakang penulisan kitab Yesus bin Sirakh?
1.2.3.      Bagaimana pengarang kitab Yesus bin Sirakh?
1.2.4.      Apa tujuan penulisan kitab Yesus bin Sirakh?
1.2.5.      Apa ciri-ciri mencolok kitab Yesus bin Sirakh?
1.2.6.      Bagaimana susunan bahan kitab Yesus bin Sirakh?
1.2.7.      Ajaran seperti apa yang diberikan oleh kitab Yesus bin Sirakh?
1.2.8.      Bagaimana kitab Yesus bin Sirakh dikatakan sebagai pedoman hidup sehari-hari?
1.2.9.      Bagaimana kitab Yesus bin Sirakh dikatakan sebagai pembela tradisi?
1.2.10.  Bagaimana kitab Yesus bin Sirakh menjadi pemersatu yang berbeda-beda?
1.2.11.  Bagaimana hikmat Ilahi nampak dalam hukum Taurat?

1.3.            Tujuan Penulisan
1.3.1.      Menjelaskan mengenai judul dan penulisan kitab Yesus bin Sirakh.
1.3.2.      Menjelaskan latar belakang penulisan kitab Yesus bin Sirakh.
1.3.3.      Menjelaskan pengarang kitab Yesus Bin Sirakh.
1.3.4.      Menjelaskan tujuan penulisan kitab Yesus bin Sirakh.
1.3.5.      Menyebutkan dan menjelaskan ciri-ciri mencolok dari kitab Yesus bin Sirakh.
1.3.6.      Menguraikan susunan bahan kitab Yesus bin Sirakh.
1.3.7.      Menjelaskan bentuk ajaran yang diberikan oleh kitab Yesus Bin Sirakh.
1.3.8.      Menjelaskan bagaimana kitab Yesus bin Sirakh dapat dikatakan sebagai pedoman hidup sehari-hari.
1.3.9.      Menjelaskan bagaimana kitab Yesus bin Sirakh dapat dikatakan sebagai pembela tradisi.
1.3.10.  Menjelaskan bagaimana kitab Yesus bin Sirakh dapat menjadi pemersatu yang berbeda-beda.
1.3.11.  Menjelaskan hikmat Ilahi yang nampak dalam hukum Taurat.

1.4.            Manfaat Penulisan
Melalui karya tulis yang penulis sajikan ini, diharapakan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak diantaranya:
·         Bagi Katekis
Melalui karya tulis ini, dapat  membantu para katekis saat ini dan yang akan datang, dalam menumbuhkembangkan semangat panggilan dan pelayanan menurut makna panggilan dari kitab Yesus bin Sirakh.
·         Bagi Penulis
Melalui karya tulis ini, peneliti dapat berupaya meneladani makna panggilan yang diberikan oleh kitab Yesus Bin Sirakh. Penulis dapat mengambil berbagai nasehat dan ajaran yang diberikan oleh kitab Yesus Bin Sirakh.
·         Bagi Lembaga STKIP Widya Yuwana Madiun
Melalui karya tulis ini, dapat memberikan kontribusi dan dukungan bagi para mahasiswa yang secara khusus tertarik dalam menggali semangat panggilan melalui kitab Perjanjian Lama, khususnya kitab Yesus bin Sirakh. Dengan karya tulis ini juga dapat memberikan motivasi bagi para mahasiswa untuk semakin menghayati didikan dan ajaran “seni hidup” yang diberikan oleh kitab Yesus bin Sirakh dan mengimplementasikan melalui tindakan konkrit dalam kehidupan sehari-hari.



BAB II
MENGENAL KITAB YESUS BIN SIRAKH

2.1.            Judul dan Penulisan Kitab Yesus Bin Sirakh
Kitab Sirakh adalah satu-satunya kitab dalam perjanjian Lama yang menyebutkan siapa penulisnya. Ia menandai karyanya, mungkin sekali karena pengaruh kebiasaan Yunani. Ia menyebut diri Yesus bin Sirakh (50:27; 51:30). Tradisi Katolik sesudah Cyprianus menyebutnya sebagai kitab Gereja (Ecclesiasticus), untuk menekankan bahwa kitab tersebut penting bagi jemaat. Kebiasaan Ibrani menyebutnya sebagai Amsal Bin Sirakh.
Dari kitab itu sendiri kita juga mengetahui bahwa Bin Sirakh adalah orang penting di Yerusalem, ahli kitab yang diresapi kasih akan hukum dan prihatin terhadap pewartannya bagi sesama (24:34; 33:18). Apa yang dirumuskan ini merupakan buah permenungan (32:15) dan pengalamannya ketika membuka sebuah kelompok atau sekolah (51:23). Ia sendiri adalah pencari kebijaksanaan (51:13-30) dan mendapatkan banyak pengalaman dari hasil ia pergi berkelana (34:9-11). Mungkin kepergiannya itu ada hubungannya dengan tugas resmi (39:4). Ia sendiri pernah mengalami bahaya yang cukup besar dengan pengalaman bersama Allah itu, namun dirinya diselamatkan (34:12; 51:1-7). Ia hidup dengan tenang dan dalam suasana yang sangat aman, bersama dengan keluarga (36:21-27) dan mendidik anak-anaknya dalam suasana kebijaksanaan (30:7-13; 42:5).
Kendati ia memiliki rasa hormat terhadap kenisah, imam dan ibadah (50:5-21) akan tetapi ia sendiri tidak menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang imam. Setelah dipertimbangkan secara matang-matang, maka akhirnya diambillah kesimpulan untuk menerbitkan pengalamannya itu, agar terbaca bagi generasi berikut (Prakata).

2.2.            Latar Belakang Penulisan Kitab Yesus Bin Sirakh
Mungkin berguna memperkirakan kapan dan apa latar belakang kitab ini diterbitkan. Dua keterangan membrikan petunjuk bahwa Bin Sirakh hidup di Yerusalem sekitar tahun 200 SM. Penerjemah ke dalam bahasa Yunani yaitu cucunya seperti tampak dalam Prakata, mulai mengerjakan penerjemahan pada tahun ke tiga puluh delapan pemerintahan Euergetes, yang diperkirakan adalah Ptolomeus VII (170-116). Jadi sekitar tahun 132. Maka bisa diperkirakan bahwa kakeknya menulis beberapa puluh tahun sebelumnya.
Kecuali itu, Bin Sirakh mengingatkan kenangan pribadi yang diungkap dalam himne tentang imam besar Simon (50:1-24). Imam besar ini berperan di Yerusalem sekitar tahun 198. Di dalam kitab memang tidak ada petunjuk mengenai peristiwa tragis dilepasnya Onias III, anak Simon pada tahun 174 dan penganiayaan hebat pada waktu Anthiokus Epifanes pada tahun 175-164. Maka karya Bin Sirakh tampaknya harus ditempatkan dalam situasi zaman sebelum terjadi peristiwa tragis tersebut.
Latar belakang sejarah yang perlu diketahui adalah bahwa setelah Palestina sejak tahun 301 di bawah Ptolomeus dari Mesir, maka pada tahun 198 wibawa bergeser. Palestina di bawah pemerintahan dinasti Seleukit dari Siria. Anthiokus III (223-187) dan penggantinya Seleukus IV (187-175) snagat mendukung bangsa Ibrani. Ia membantu pembangunan kenisah dan pembaruan ibadah (2Mak 3:3). Pembaruan yang diingat oleh Sir 5:1-4 tampaknya berlatar belakang hal ini.
Kalau memperhatkan perkembangan budaya, tampaknya zaman ini dipengaruhi oleh berbagai macam kebiasaan. Alam pikiran Yunani dan Ibrani tradisional maupun berbagai aliran lain membuat orang sulit mempertahankan pandangan dan keyakinan sendiri. Justru latar belakang inilah tampaknya yang mendorong penulis merumuskan pengalaman tersebut. Situasi ini sesuai dengan latar belakang tadi (Sir 2:12-14 dan 2Mak 1-2).

2.3.            Pengarang Kitab Yesus Bin Sirakh
Meskipun dia berusaha untuk “mengesahkan” karyanya (50:27), namun nama lengkapnya sebagai pengarang sama sekali tidak jelas: kemungkinan besar “Yoshua Bin Eleazar Bin Sirakh” (bahasa Yunani “Yoshua” berarti “Yesus”; “Bin” berarti “Anak dari”). Dia adalah penduduk Yerusalem, yang berasal dari keluarga yang tergolong maju dan terpandang, (“Sirakh” rupanya nama kakeknya). Ia dididik secara saleh dan memperoleh pendidikan yang baik; dia juga menguasai tiga bahasa, yaitu bahasa Aram, bahasa Ibrani dan bahasa Yunani. Sejak masa kecilnya, dia begitu tekun mengejar kebijaksanaan, misalnya berlatih tulis-menulis dan belajar mengenai Kitab suci.
Dia mengembara dan menjadi pelayan seorang raja kafir. Sepulang dari pengembaraannya tersebut, dia tinggal di Yerusalem, dia membangun sebuah keluarga dan juga membangun suatu perkampungan yang dapat terbilang sangat luas. Apabila bukan seorang pedagang, maka sekurang-kurangnya dia adalah seorang usahawan yang kaya dan maju. Sebagai seorang yang berpengalaman dan terpelajar, dia memiliki kedudukan penting dalam sebuah administrasi negara dan di antara para hakim. Namun, di samping hal itu, dia adalah seorang pendidik dan seorang yang bijak. Para kaum muda aristokrat di Yerusalem belajar padanya dan tulisan-tulisan puitisnya yang menghiasi sepanjang bukunya semula dibawakan di depan murid-muridnya dan kemudian dihafalkan oleh mereka.


2.4.            Tujuan Penulisan Kitab Yesus Bin Sirakh
Tujuan penulisan Kitab Yesus bin Sirakh menjadi cukup jelas, yakni hendak mempertahankan warisan rohani yang turun-menurun dari leluhur, wawasannya mengenai pengalaman Allah, dunia dan manusia, terutama atas pilihan Allah sebagai bangsa. Ia mencoba meyakinkan saudara seimannya bahwa di dalam Taurat terdapat kebijaksanaan, sehingga tidak perlu iri hati terhadap budaya dan kebiasaan yang dianggap modern. Ia mencoba merumusakan wawasan iman tradisional dengan rumusan yang sesuai dengan zamannya, sehingga dapat dengan mudah dipahami oleh rekan-rekannya. Dengan demikian, rekan-rekan seiman dapat menemukan kembali pedoman dalam mengembangkan perilaku hidup yang sesuai dengan iman dan sejalan dengan tuntutan zaman.
Orang yang memiliki iman tidak perlu takut untuk kehilangan arti hidupnya bahkan harus bangga dalam menampilkan jati dirinya (1 Mak 1:11-15). Penulis kitab Yesus bin Sirakh menampilkan dirinya sebagai tokoh yang mengenal tradisi leluhur dalam iman, dan mampu merumuskan pembaharuan dengan cara cemerlang.

2.5.            Ciri-ciri Mencolok Kitab Yesus Bin Sirakh
Hal yang paling penting dalam kitab ini adalah kitab ini menampilkan kebijaksanaan (1:1-10; 50:27; 51:13-30). Di situ tokoh ini ditampilkan sebagai pewaris harta kekayaan (33:16-18). Yang menarik ialah bahwa kebijaksanaan yang dikenalnya sudah dikenal pula oleh para leluhur (44:1-49:16). Kebijaksanaan inilah yang mengantar orang sampai kepada sikap “ajrih asih” (takwa) kepada Allah. Tema takwa kepada Allah mendapat perhatian dalam permenungannya (2:15-17). Sikap tersebut tampak terutama dalam kesetiaan terhadap Taurat (1:26; 6:37). Belajar Taurat merupakan tuntutan tersendiri bagi setiap orang beriman. Hal ini dikarenakan mutu dan peranan kebijaksanaan berasal dari Taurat tersebut.
Bin Sirakh tentu bukanlah orang yang kembali kepada rumusan Hukum Taurat. Ia menunjukkan jiwa dan semangat hidup di belakang rumusan hukum tersebut, yakni hubungan manusia dengan Allah. Allah mengenal semua (42:18-25). Ia adalah segalanya (43:27). Allah mnegatur alam semesta dalam keadilan dan penuh penyelenggaraan (16:17-23). Bagi semua, secara khusus bagi Israel, Allah adalah bapa (23:1). Dia adalah Allah sejati (17:17; 24:12).
Kecuali itu, Bin Sirakh juga memberikan wawasannya tentang hubungan antara karunia kemerdekaan manusia dengan daya kejahatan. Tentu tidak bisa diharapkan bahwa jawabannya akan memuaskan. Namun ia menekankan bahwa manusia memang merdeka (15:14). Kejahatan memanglah bersumber pada diri mausia itu sendiri dan bukan dari Allah (15:11-13; 21:27; 25:24). Hati yang jahat itulah yang menjadi sumber kejahatan. Manusia mmapu menguasai dirinya (31:10). Bila berhasil, maka manusia akan mendapatkan ganjarannya dari Allah sendiri.

2.6.            Susunan Kitab Yesus Bin Sirakh
Susunan bahan dalam tulisan ini banyak sekali menjadi bahan diskusi. Biasanya secara garis besar kitab ini dibagi menjadi dua bagian (1-23 dan 24-50). Pada setiap bagian tersebut selalu dimulai dengan sebuah pujian atas kebijaksanaan. Kitab Sirakh 51 merupakan suatu tambahan yang terdiri dari sebuah kidung pujian syukur dan sebuah puisi mengenai mencari kebijaksanaan. Biasanya orang menyusun bagian-bagian menjadi demikian:
·         Prakata
·         Pelbagai macam usaha menghargai kebijaksanaan (1:1-16:23)
·         Paham akan Allah (16:24-23:27)
·         Kebijaksanaa dan Turat (24;1-32:13)
·         Ahli Taurat dan kebijaksanaan (32:14-42:14)
·         Kemuliaan Allah dalam semesta alam dan sejarah (42:15-50:24)
·         Wasana kata (50:25-29)
·         Tambahan (51:1-30)
Teks dalam Alkitab mengikuti urutan yang kurang lebih seperti disajikan di atas, hanya pada bagian akhir dibedakan sejarah para leluhur dan iman (44:1-50:24). Pembagian di atas bukanlah satu-satunya kemungkinan untuk memahami pesan yang ada di dalamnya. Dengan mengikuti permenungan secara terus-menerus, akhirnya akan mengantar kita pada sebuah pemahaman yang semakin mendalam.

2.7.            Ajaran Kitab Yesus Bin Sirakh
Tradisi yang pertama, yaitu tradisi sejarah keselamatan Musa dengan teologi perjanjiannya; sedangkan yang kedua yaitu tradisi kebijaksanaan internasional Timur Tengah kuno, dan apabila berbicara mengenai teologinya, yang ditekankan di sini adalah teologi Penciptaan, tidak mengenal bentuk hubungan khusus macam apa pun antara negara tertentu dengan Sang Pencipta. Dua tradisi ini bertemu di dalam kitab Amsal, di mana Sang Pencipta yang memberikan kebijaksanaan ilahi, bahkan memberikan diri-Nya sendiri kepada umat manusia. Makna dan wawasan kata “kebijaksanaan” memiliki arti yang ganda jika digunakan dalam berbagai tingkatan yang berbeda.
Semula berarti tidak lebih daripada “keahlian”, “teknologi” kemampuan untuk mengadaptasikan atau mengontrol kebendaan, dunia fisik, untuk kepentingan umat manusia. Dengan demikian pemburu, petani, penenun, pengrajin barang-barang, masing-masing memiliki kebijaksanaannya sendiri. Namun, pada tingkat yang lebih tinggi “kebijaksanaan” digunakan dalam hubungan sosial yang berarti “supel bergaul”, “bagaimana mencari teman dan mempengaruhi orang”. Pada tingkat yang lebih tinggi lagi menerapkan “kebijaksanaan” tersebut kepada Sang Pencipta sendiri karena kebijaksanaan merupakan hal yang snagat berharga. Allah memiliki kebijaksanaan-Nya sendiri yang tentu saja sama sekali jauh berbeda dengan kebijaksanaan yang dimiliki oleh umat manusia.
Hal lain yang penting dalam Bin Sirakh adalah pengetahuan dan penjagaan yang ketat dalam tata cara ibadat serta peran para imam dalam komunitas Yahudi. Ini merupakan sesuatu yang baru dalam tulisan-tulisan kebijaksanaan. Dahulu orang-orang bijak merasa bahwa hal demikian berada jauh di luar kompetensinya. Sumbangan besar lain dari Bin Sirakh iaah kanon, yaitu kumpulan tulisan-tulisan suci yang berwibawa mengenai hubungan antara Allah dnegan manusia khususnya Israel. Secara sistematis, dia menggambarkan “pujian kepada orang-orang termasyur” dalam kumpulan sejarah Kitab Sucinya (44:1-49:16).

2.8.            Kitab Yesus Bin Sirakh sebagai Pedoman Hidup Sehari-hari
Judul terjemahan Latin kitab Yesus bin Sirakh berbunyi: Ecclesiasticus, artinya Kitab Gereja. Kurang jelas alasannya mengapa disebut demikian. Tetapi kitab ini banyak dibaca dan dipakai Gereja Kristen. Kitab ini dianjurkan kepada para calon baptis dan kaum muda. Dianggap sebagai semacam “katekismus”, pedoman hidup.
Dan memang demikianlah ciri-corak bagian terbesar Kitab Yesus Bin Sirakh. Kitab ini melanjutkan tradisi para berhikmat di Israel. Yesusu Bin Sirakh mau mendidik dan mengajarkan “seni hidup”. Dalam kitabnya terdapat amat banyak nasehat dan anjuran yang sangat praktis dan mengena. Ternyata Yesus Bin Sirakh banyak memiliki pengalaman, membuat banyak perjalanan dan memiliki daya pengamatan yang sangat tajam (24:30-34; 51:13; 34:11-12). Banyak nasehat mengenai hidup sehari-hari di segala bidang hidup dengan segenap seluk-beluknya. Kalau orang mencari dalam Alkitab petunjuk-petunjuk untuk hidup sehati-hari, pastilah ia menemukan sesuatu dalam karya Yesus Bin Sirakh, kitab paling tebal dari semua kitab hikmat kebijaksanaan. Nasehat dan petunjuk itu sangat realistis dan manusiawi, berlaku bagi semua orang, entah Yahudi maupun non Yahudi. Meskipun seorang ahli Kitab (bukan Farisi) namun Yesus Bin Sirakh seorang yang memiliki pandangan umum dan luas yang mencakup semua manusia.
Sesuai dengan tradisi hikmat kebijaksanaan di Israel, Yesus Bin Sirakh yakin bahwa “seni hidup” sejati merupakan karunia Allah (1:10), cerminan dari hikmat kebijaksanaan ilahi yang menyatakan diri dalam dunia sekitar manusia (1:1-10). Maka Yesus Bin Sirakh mengulang ajaran tradisional: Pangkal kebijaksanaan ialah takut akan Tuhan (1:20).

2.9.            Kitab Yesus Bin Sirakh sebagai Pembela Tradisi
Yesus Bin Sirakh menulis karyanya menjelang meledaknya pemberontakan para Makabe. Perang kemerdekaan itu tidak lain kecuali reaksi hebat tradisi dan agama Yahudi terhadap kebudayaan Yunani yang mengancam. Pada masa Yesus Bin Sirakh, kebudayaan Yunani itu sudah mulai memasuki umat Israel di Palestina. Tidak sedikit orang, khususnya para kaum muda, cukup tertarik juga. Maka penulis Yesus Bin Sirakh mengemukakan “tradisi nenek-moyang”, seperti tercantum dalam kitab-kitab kudus. Tradisi itulah yang perlu menjadi pedoman dan pegangan bagi umat, sehingga umat menjadi semakin kebal terhadap semaraknya kebudayaan Yunani. Umat Israel tidak perlu berguru pada orang-orang asing. Cukup dengan mereka mengingat pusaka nenek-moyang, kemudian memeliharanya secara utuh. Seperti ditegaskan penerjemah karya Yesus Bin Sirakh: “Sepatutnyalah Israel mendapat pujian karena pengajaran dan kebijaksanaannya”. Anak cucu Yesus Bin Sirakh itu memiliki semangat neneknya yang menjiwai seluruh karyanya.
Betapa tradisionalnya Yesus Bin sirakh menjadi nyata dalam caranya menghadapi masalah yang merepotkan semua orang yang berhikmat, yakni masalah pembalasan. Yesus bin Sirakh memperahankan pendapat para berhikmat dahulu, misalnya: orang baik, yang berhikmat dan takut pada Tuhan, pasti diberkati dan menjadi bahagia di dunia. Sebaliknya, orang fasik dan jahat pasti mendapat hukuman yang setimpal. Seolah-olah Yesus Bin Sirakh tidak membaca kitab Ayub dan Pengkhotbah.
Kedua kitab itu mengecam pendapat tradisional itu. Tetapi kritik itu tidak dihiraukan oleh Yesus Bin Sirakh. Ia tidak tahu-menahu soal kebangkitan badan, yang dengannya penulis kitab Daniel dan 2Makabe mengatasi masalah pembalasan. Ia pun tidak tahu-menahu mengenai kehidupan baka yang menjadi jalan keluar bagi penulis kitab Kebijaksanaan salomo.
Rupanya  masalah pembalasan tidak terlalu merepotkan Yesus bin Sirakh. Ia tentunya tahu dan sadar akan sengasara dan kemalangan manusia. Ia bahkan menyajikan suatu renungan panjang tentang nasib buruk manusia (bab 40-41). Tetapi Yesus bin Sirakh enggan mempersoalkannya. Sebab “demikianlah keputusan dari Tuhan mengenai segala yang hidup, mengapa kiranya kau tolak apa yang diperkenankan Yang Mahatinggi” (41:4); dan: “mudah bagi Tuhan ada hari terakhir (mati) membalas manusia sekedar tingkah lakunya” (11:26). Hanya saja keterangan semacam itu tidak berarti: memecahkan soal, melainkan menutupinya saja.

2.10.        Pemersatu yang Berbeda-beda
Yesus bin Sirakh merupakan sorang ahli kitab. Ia mengarang lagu pujian atas keunggulan ahli kitab (32; 38:24-39:11). Ia mengenal, sudah mempelajari dan merenungkan Pentateukh, kitab-kitab sejarah, kitab-kitab para nabi dan kitab-kitab lain lagi. Demikianlah kesaksian anak cucunya. Dalam karyanya, Yesus bin Sirakh seringkali menyinggung Alkitab yang sudah tersedia baginya. Namun ia tidak suka mengutipnya secara harafiah.
Dalam pengajarannya, Yesus bin Sirakh tidak mengulang-ulang kitab-kitab kudus dan tidak hanya berdasarkan Alkitab. Sebagai orang berhikmat, ia pun mendasarkan diri pada pengalaman dan pengamatan yang ia alami dan ia jalani. Dalam rangka pengalaman dan pengamatan itu, Yesus bin Sirakh menyarikan isi Alkitab dan setelah diperkaya dan disesaikan dibawanya kepada umat yang mau dididik dan diperlengkapi sehingga dapat menghadapi hidup sehari-hari di dunia ini. Mereka dibimbing untuk menghayati iman kepercayaan nenek moyang dalam keadaan nyata pada masa itu.
Yesus bin Sirakh meresapkan dalam hati seluruh Kitab Suci. Dalam hal ini, ia berbeda dengan pendahulu-pendahulunya dalam tradisi hikmat kebijaksanaan di Israel. Dalam kitab-kitab para nabi dapat dibaca bahwa sering kali ada ketegangan, bahkan bentrokan antara orang-orang berhikmat, para imam dan para nabi. Yesus bin Sirakh sebenarnya mempersatukan diri di dalamnya dan dalam karyanya ketiga-tiganya. Ia sangat menghormati para imam dan ibadat yang mereka selenggarakan dalam Bait Allah di yerusalem.
Cukuplah membaca lagu pujian atas imam besar Simon, yang dikarang Yesus bin Sirakh (50:1-21). Ia pasti sorang yang rajin beribadah. Rasa hornatnya kepada upacara-upacara ibadat nampak di mana-mana. Semangat para nabi pun terserap dalam hati, sehingga Yesus bin Sirakh ingin menyalurkan semangat itu. Ia mengharapkan supaya “tulang-belulang mereka (nabi-nabi) bertunas dari dalam kubur mereka” (49:10). Doa bagi keselamatan umat yang dipajatkan Yesus bin Sirakh (36:1-17) sungguh suatu doa yang bernada kenabian. Sebagai orang berhikmat, Yesus bin Sirakh tentunya penganut pendahulu-pendahulunya dalam tradisi itu.
Demikian Yesus bin Sirakh mempersatukan beberapa aliran dan gerakan yang terdapat dalam alam pikiran umat Israel. Dahulu aliran dan gerakan itu sering terpisah dan malah bertentangan satu sama lain. Akan tetapi, dalam Sirakh, semuanya bersatu padu.

2.11.        Hikmat Ilahi Nampak dalam Hukum Taurat
Dari semua kitab kudus Yesus bin Sirakh mengutamakan Hukum Taurat. Kelima kitab Musa mengandung segala sesuatu. Yang lain-lain hanya lanjutan dan perkembangan Hukum Taurat. Menurut pendekatan Yesus Bin Sirakh, Hukum Taurat bukanlah hanya sekedar sekumpulan perintah, aturan dan hukum. Namun sebaliknya, Hukum Taurat tidak lain dari pernyataan ilahi yang menjadi penerangan, pedoman dan pegangan bagi manusia.
Karenanya Sirakh menjalin hubungan erat antara Hikmat ilahi dan Hukum Taurat. Menurut contoh kitab Amsal (Ams 8) Yesus bin Sirakh memperorangkan Hikmat ilahi. Ia mengarang sajak-sajak untuk memuji Hikmat itu dan meluhurkan kekayaannya (4:11-19; 14:20-15:10). Hikmat ilahi itu turun ke bumi dan mencari kediaman tetap. Ia menetap pada umat Israel, umat Allah yang kudus, tegasnya dalam Bait Allah tempat menjiwai seluruh ibadat. Hikmat ilahi itu seolah-olah membuka dan menjelma dalam kitab Hukum Taurat, meskipun tetap tidak terkurung di dalamnya melainkan melampauinya (24:1-29). Maka Hikmat ilahi menurut Yesus bin Sirakh disampaikan kepada manusia melalui Hukum Taurat.
Maka menurut Sirakh, orang berhikmat yang takut akan Tuhan ialah orang yang setia pada Hukum taurat. Artinya: agama dan adat istiadat Yahudi. Tetapi sesuai dengan tradisi orang berhikmat, Yesus bin Sirakh tetap menjunjung tinggi pengalaman dan pengamatan sebagai sarana guna menemukan rencana dan kehendak Allah serta maksud tujuan-Nya. Sebab Hikmat ilahi nampak dalam ciptaan-Nya (1:1-10; 16:24-30). Jadi orang berhikmat harus memanfaatkan pengalaman juga. Namun Yesus bin Sirakh yakin bahwa rencana dan kehendak Allah pada pokoknya dinyatakan dalam Hukum Taurat.



BAB III
MAKNA PANGGILAN KITAB YESUS BIN SIRAKH DAN RELEVANSINYA BAGI CALON KATEKIS DEWASA INI

3.1.            Makna Panggilan Kitab Yesus Bin Sirakh
Kitab Yesus bin Sirakh mau mendidik dan mengajarkan “seni hidup”. Dalam kitabnya terdapat amat banyak nasehat dan anjuran yang sangat praktis dan mengena. Ternyata Yesus bin Sirakh memiliki begitu banyak pengalaman, membuat banyak perjalanan hidup dan sangat tajam daya pengamatannya. Banyak sekali nasehat kehidupan sehari-hari di segala bidang. Kalau orang mencari dalam Alkitab petunjuk-petunjuk untuk kehidupan sehari-hari, maka sudah pasti ia menemukan sesuatu yang besar dalam karya Yesus bin Sirakh.
Kitab ini adalah kitab paling tebal dari semua kitab hikmat-kebijaksanaan. Nasehat dan petunjuknya sangat realistis, manusiawi dan berlaku untuk semua orang, baik orang Yahudi maupun buka Yahudi. Sesuai dengan tradisi hikmat-kebijaksanaan di israel, Yesus bin Sirakh yakin bahwa seni hidup sejati merupakan karunia Tuhan (Sir 1:10), cerminan dari hikmat kebijaksanaan Ilahi yang menyatakan diri dalam dunia manusiawi (Sir 1:1-10). Maka Yesus bin Sirakh mengulang ajaran tradisional: “Pangkal kebijaksanaan adalah takut akan Tuhan” (Sir 1:20).

3.2.            Relevansi Kitab Yesus Bin Sirakh bagi Para Calon Katekis Dewasa Ini
            Kitab Yesus bin Sirakh merupakan sebuah kesaksian dari zaman tansisi yang menampilkan ciri-ciri dari Yudaisme pasca pembuangan. Hal ini juga memiliki arti penting bagi tradisi Kitab Suci karena Sirakh menampilkan pemahamannya yang kuat pada warisan tradisi leluhur, namun juga menawarkan rumusan baru warisan tersebut agar menjadi bicara lagi bagi orang sezaman. Wawasan ini berbeda dengan wawasan kaum rabbini, terutama Farisi yang hendak kembali pada rumusan Taurat secara penuh. Wawasan yang dibela oleh Bin Sirakh tampaknya lebih terbuka, dan membuka kemungkinan bagi kekristenan untuk menemukan landasan hidup iman dalam tradisi biblis tersebut.
Bin Sirakh juga menjadi saksi berkembangnya Kitab Suci. Prakata menunjukkan bagaimana Kitab Suci dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu Turat, Nabi dan tulisan lain (bdk. 39:1-3). Dengan demikian daftar Kitab Suci tampaknya sudah agak baku. Kitab yang secara jelas disebutkan ialah Pentateukh, Yosua, Samuel, Raja-raja, Tawarikh, Ayub 49:9, Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, dua belas nabi terutama Maleakhi dan Hagai, Nehemia, Mazmur yang dianggapnya dari Daud dan Amsal yang dianggap dari Salomo.
Dalam kebijaksanaan Ibrani, Bin Sirakh juga mendapat tempat dan peranan yang cukup penting. Kerap kali dikutip dalam Talmud, yakni kumpulan pengajaran, dan tampaknya juga mendapat tempat dan peranan seperti dilukiskan dalam Mat 13:52, yakni sebagai guru yang bisa mengeluarkan hal-hal baru dari kekayaan lama. Terutama dalam kebiasaan ibadah Kippurim, yakni ibadah pengampunan doa dan berkah tampaknya mirip dengan 36:1-17.
Dalam Perjanjian Baru, Bin Sirakh tampaknya sangat berpengaruh pada tulisan Yakobus. Lingkungan Aleksandria tampaknya ikut mempengaruhi penghormatan akan Bin Sirakh dalam lingkungan orang Kristen perdana karena mereka itu disingkirkan oleh kaum garis keras dalam tradisi Ibrani, terutama oleh kaum Farisi. Namun juga hal ini tampaknya yang menjadi orang Kristen sendiri tidak serta merta menerima Sirakh dalam lingkup mereka pada awal kehidupan mereka.
Yesus bin Sirakh  menjadi contoh seorang “tradisionalis” sejati. Ia memang berpegang teguh pada apa yang sudah-sudah, ia mati-matian membela iman-kepercayaan yang sudah diwariskan. Tetapi ia sekali-kali tidak hanya mengulang-ulang saja. Ia bukan penyalur tradisi yang membeku. Justru sebaliknya, ia memberi contoh bagaimana agar orang percaya dan dapat menghayati iman-kepercayaan nenek-moyang dalam keadaan baru dan sesuai dengan keadaan yang nyata saat itu. Memang setiap orang yang berguru pada Hikmat ilahi tidak pernah membeku dan membatu. “Bagaikan istri yang masih perawan” Hikmat kebijaksanaan selalu muda, menyegarkan dan merangsang (15:2).
Yesus Bin Sirakh menganalisis kebijaksanaan sebagai harta dan berkat yang paling besar dalam hidup manusia. Oleh karena itu seseorang dapat memperoleh kebijaksanaan dengan cara menuruti perintah-perintah Allah (28-29). Maka dari itu perlu adanya suatu “kesetiaan dan kelembutan hati (ayat 27)”. Menurut ayat 28-30 orang yang ingin memperoleh kebijaksanaan harus melawan ketidaktulusan hati, kekafiran dan kesombongan-pendeknya formalisme agamawi.
Pasal 15:1 adalah suatu ringkasan yang padat: “takut akan Tuhan = menaati Taurat = memperoleh kebijaksanaan”. Bagi Bin Sirakh ketiganya merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Israel dipandang Tuhan sebagai umat pilihan dan hubungan antara Allah dan Israel diikat oleh perjanjian. Dalam menyatakan perjanjian-Nya, Allah juga menyertakan perintah-perintah-Nya. Perintah Allah diberikan dalam konteks seseorang yang telah ada di dalam perjanjian.
Sirakh memandang perintah Tuhan harus ditaati sebab ketaatan pada perintah Allah akan mendatangkan upah (reward) dan ketidaktaatan mendatangkan penghukuman (punishment). Solusi dari penghukuman Tuhan adalah pertobatan. Dalam hal penebusan, Sirakh memandang penebusan yang dilakukan haruslah disertai pertobatan. Yang terutama dan utama untuk menjadi tekanan dari Sirakh bukanlah keharusan melakukan penebusan, namun sikap hidup yang menjauhi pelanggaran dan mengerjakan yang baik.
Bagi orang yang taat pada Tuhan, anugerah Allah dan belas kasihan-Nya akan menyelamatkan mereka. Yesus Bin Sirakh berbicara mengenai pentingnya hikmat Allah dalam keselamatan, dan hikmat tersebut dipandang sebagai anugerah Allah yang akan diperoleh manusia atau orang-orang Yahudi melalui ketaatan mereka pada hukum Tuhan. Kebijaksanaan pada manusia sama dengan menuruti Taurat (19, 20, 26). Mula-mula kebijaksanaan amat berat rasanya. Rupanya ia mempenjarakan dan membudakkan orang. Tetapi semuanya itu untuk kepentingan orang sendiri.
Kita telah mengetahui bahwa Tuhan mencurahkan kebijaksanaan atas “orang yang cinta kepada-Nya”. Oleh karena itu mereka harus benar-benar disiapkan untuk menerima karunia-Nya. Persiapan insani yang dihubungkan dengan karunia ilahi disimpulkan dalam pernyataan klasik: “Takut akan Tuhan”. Takut akan Tuhan ini merupakan penghormatan yang besar terhadap kebesaran, keadilan dan kebaikan-Nya yang diteruskan dengan devosi dan rasa syukur. Dalam ayat 14-20 Bin Sirakh secara tegas menyatakan, dengan menggunakan banyak gambaran puitis, bahwa ada kaitan antara “takut”, penerimaan dan kenikmatan akan kebijaksanaan Allah tersebut. Rasa “Takut akan Tuhan” merupakan awal, kepenuhan, puncak dan akar kebijaksanaan (1:11-20).
Pada kenyataannya dan akhirnya, berkat kebijaksanaan, orang menjadi seperti seorang raja. Sebab itu orang patut suka akan kebijaksanaan, justru seharusnya mencarinya (6:24-31). Kebijaksanaan itu sama dengan perintah-perintah Allah atau Taurat (6:37). Dengan demikian, ketakutan akan Tuhan sama saja dengan kebijaksanaan. Dan menurut anggapan Sirakh, agama sejati ialah ketakutan itu sendiri (1:11).










BAB IV
PENUTUP

4.1.            Kesimpulan
Konsep hikmat dalam Kitab Bin Sirakh bukanlah dalam pengertian yang sederhana seperti keterampilan yang dimiliki manusia atau bagaimana cara mencari kawan. Namun konsep hikmat dalam Kitab Yesus Bin Sirakh berbicara dalam hubungannya dengan Tuhan. Hikmat yang dimaksud berasal dari Tuhan dan merupakan suatu harta yang berharga bagi manusia. Hikmat merupakan suatu anugerah dari Allah yang dapat menyelamatkan manusia. Selain itu, hikmat Allah juga berkaitan dengan hukum Musa/Taurat dan ketaatan manusia kepada hukum itu. Di mana manusia dapat memperoleh hikmat itu melalui ketaatannya pada hukum Taurat. Namun ketaatannya pada hukum tidak menjamin seseorang untuk mendapatkan keselamatan.

4.2.            Refleksi dan Pergulatanku Mengenai Kitab Yesus Bin Sirakh
Dalam proses pengerjaan karya ilmiah ini, penulis merasa seperti mengerjakan hal yang sama sekali penulis tidak tahu apa yang sebenarnya penulis kerjakan. Menjadi sebuah keheranan tersendiri karena memang sebelumnya penulis sama sekali tidak pernah membaca kitab Yesus bin Sirakh. Penulis memang pernah mendengar kitab ini, namun sedikitpun penulis belum pernah membacanya. Maka, ketika mendapatkan tugas untuk mengerjakan karya ilmiah yang menggali makna akan kitab Yesus bin Sirakh ini, penulis merasa seperti orang bodoh dan buta.
Penulis merasa seperti mengerjakan hal baru dan melakukan hal yang baru pula. Bagaimana tidak? Penulis sama sekali tidak tahu-menahu akan kitab ini, lalu kemudian penulis harus membuat karya ilmiah tentang kitab ini. Namun ketika itu penulis hanya memiliki satu hal yang menjadi bekal bagi penulis untuk pengerjaan karya ilmiah ini, yaitu “yakin”. Yakin bahwa dalam mengerjakan karya ilmiah mengenai kitab Yesusu bin Sirakh ini pasti penulis akan mendapatkan jalan entah melalui buku penunjang, artikel dalam internet, dll.
Dalam pengerjaan karya yang membicarakan tentang kitab Yesus bin Sirakh ini, penulis benar-benar mengalami permenungan yang mendalam mengenai arti dari “takut akan Tuhan”. Dalam membaca dan mendalami kitab ini, penulis sepenuhnya menyadari bahwa kehidupan penulis masih jauh dari kata “bijaksana” dan “takut akan Tuhan”. Oleh karena itu, dalam kehidupan penulis yang selanjutnya, penulis akan berusaha untuk menjadi orang yang bijak, yang takut akan Tuhan sebagaimana telah diajarkan oleh kitab Yesus bin Sirakh ini. semoga niat dari penulis senantiasa diberkati oleh Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Darmawijaya, St. 2009. Seluk Beluk Kitab Suci. Yogyakarta: Kanisius.

Groenen, C. 1992. Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius.

Lembaga Alkitab Indonesia. 2012, Alkitab Deuterokanonika, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.

MacKenzie, R. A. F. 1990, Yesus Bin Sirakh, Yogyakarta: Kanisius.

0 comments:

Post a Comment