BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR
BELAKANG
Kedewasaan merupakan soal aktuil
yang sangat menarik perhatian. Soal mencapai kedewasaan, selalu saja membawa
problem-problem khusus bagi orang-orang yang makin sadar akan kompleksitas
kehidupan modern saat ini. Hal itu dapat menimbulkan tekanan serta ketegangan
dalam kehidupan sehari-hari.
Soal mencapai kedewasaan itu tidak
merupakan “model baru”, melainkan merupakan kesadaran, bahwa kebanyakan orang
dalam dunia sekarang initidak mampu menyesuaikan tugas yang dituntut dari
mereka oleh situasi dunia dan oleh Gereja.
Melampaui
masa kanak-kanak dan remaja bukanlah merupakan sesuatu yang luar biasa,
melainkan kebutuhan mutlak bagi siapapun juga yang telah mencapai kedewasaan
jasmani dan hendak menempatkan dirinya secara berarti dalam masyarakat umum dan
dalam umat Kristiani. Hal ini seharusnya dilukiskan sebagai suatu arah hidup
dan bukan sebagai sesuatu yang dapat dicapai secara sempurna.
Demikian halnya yang terjadi dengan
keadaan mahasiswa di STKIP Widya Yuwana Madiun.
Dalam komunitas kelas yang disatukan dari berbagai macam usia dan daereh, tentu
saja terdapat banyak ciri dan perbedaan kedewasaan dari masing-masing pribadi.
Perbedaan
kedewasaan tidak hanya memberi pengaruh kecil, namun juga dapat mempengaruhi
pola pikir seseorang dalam bertingkah laku dengan orang sekitar. Dari berbagai
macam perbedaan inilah penulis mencoba mengaplikasikan pengertian kedewasaan
yang sesungguhnya dengan keadaan mahasiswa STKIP
Widya Yuwana Madiun.
Dengan
demikian, penulis berharap semoga makalah yang penulis buat dapat berguna bagi
kesatuan dan kekompakan angkatan mahasiswa
STKIP Widya Yuwana Madiun
demi tercapainya tingkat kedewasaan dari berbagai macam usia dan daerah.
1.2.
MASALAH
Perbedaan
usia dan daerah seringkali mempengaruhi perbedaan tingkat kedewasaan seseorang dalam
berkomunitas. Dari perbedaan kedewasaan itulah terkadang mempengaruhi pola
pikir, cara hidup, dan pola relasi dengan orang-orang sekitar.
1.3.
TUJUAN
Agar
para mahasiswa baik katekis maupun mahasiswa biasa mampu menyesuaikan tingkat
kedewasaan dalam berkomunitas yang berasal dari berbagai macam daerah dan usia.
1.4.
MANFAAT
1.4.1. Agar
mahasiswa STKIP Widya Yuwana Madiun
mampu memahami arti dari sebuah kedewasaan yang sesungguhnya.
1.4.2. Agar
mahasiswa STKIP Widya Yuwana Madiun
dapat menyesuaikan diri dalam berkomunitas kelas yang terdiri dari berbagai
daerah dan usia yang berbeda.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
KEDEWASAAN
MANUSIAWI
Seorang
yang dewasa adalah seseorang yang telah mencapai suatu kesatuan fundamental
dalam kepribadiannya. Ia tidak lagi dalam proses penemuan serta realisasi diri
sendiri seperti halnya dengan para remaja. Seorang remaja adalah seorang yang sedang
berkembang; seorang dewasa, seorang yang sudah berkembang. Seorang yang dewasa
sudah sepenuhnya menyelami kepribadiannya. Ia telah menemukan segala akal
dayanya serta manfaat dari segala bakatnya. Ia telah mencapai keteguhan dan
kestabilan dalam kepribadiannya.
Seseorang
yang dewasa sudah berkembang melampaui antusiasme-antusiasme sementara dan kini
hidup sesuai dengan keyakinannya. Memang tidak dapat disangkal bahwa sebuah
antusiasme dapat ditandai oleh ketulusan hati, tetapi ditandai juga oleh kurang
adanya keterlibatan diri sepenuhnya, refleksi atau kebebasan sejati. Bagi kaum
dewasa, kebaikan hati atau aktivitas saja tidak cukup. Ia harus mengetahui,
mengapa dan demi siapa dirinya itu dilibatkan. Dalam hati manusia terdapat “ya”
dan “tidak” yang menentukan hidupnya.
Seorang
yang dewasa sadar, bahwa ia bertanggung jawab atas tiap segi kehidupannya.
kehidupannya sebagai orang yang bertanggung jawab dipangang dan dihayati
sebagai satu keseluruhan dalam tiap saat serta dalam tiap peristiwa dimana
hidup itu berkiembang. Seorang dewasa sadar, bahwa ia bertanggung jawab atas
mutu keseluruhan hidupnya dan bykan hanya atas saat-saat yang terlepas satu
dengan yang lainnya, umpamanya pada waktu ia berhadapan dengan putusan moral.
Ia mampu bertindak setia kepada prinsip-prinsip yang memberi arti bagi
kehidupannya serta memberi kestabilan yang berdasarkan keyakinan.
Seorang
dewasa sadar akan dimensi sosialnya. Ia tidak lagi berpusat pada dirinya
sendiri, tetapi terbuka secara bertanggung jawab dan aktif kepada orang-orang
dan benda-benda dalam lingkungan kehidupannya. Ia mampu berpartisipasi dalam
kelompok-kelompok masyarakat yang menentukan kehidupan para individu. Ia juga
dapat mengarahkan aktivitasnya sesuai dengan struktur masyarakat dan idak hanya
terbatas pada peristiwa yang terlepas satu dengan lainnya.
Seorang
yang dewasa mampu menyesuaikan dirinya dengan relita kehidupan. Seorang dewasa
tidaklah berusaha menipu kehidupan, melainkan secara realistis ia memasuki
kehidupan itu, menerima pembatasan-pembatasan serta kemunduran-kemundurannya
tanpa dirinya terkalahkan olehnya ataupun mengadakan kompromi dengannya. Ia
bersedia mengakui kelemahannya dan dalam hal inipun ia tidak mau menipu diri.
Ia tidak memilih sesuka hatinya; ia tidak ada dalam ilusinya sendiri.
2.2.
ANALISIS
KEDEWASAAN DENGAN KONDISI MAHASISWA STKIP WIDYA YUWANA MADIUN
Mahasiswa STKIP Widya Yuwana Madiun kali ini adalah mahasiswa yang
terdiri dari berbagai macam daerah asal dan usia. Mereka ada yang asli dari
Jawa dan ada juga yang berasal dari Kalimantan, NTT bahkan ada pula yang
berasal dari Kepulauan Riau. Usia mereka pun berbeda-beda. Ada yang bari lulus
dari SMA, ada yang sudah pernah kuliah, ada yang sudah pernah bekerja, bahkan
ada pula yang sudah berkeluarga.
Dari berbagai usia dan daerah inilah yang menyebabkan
munculnya berbagai macam tingkat kedewasaan mahasiswa. Ada yang masih
berfikiran seperti anak kecil yang hanya memikirkan dirinya sendiri (egois),
adanya yang sudah sedikit dewasa tetapi masih dalam keadaan labil, dan ada pula
yang sudah benar-benar dewasa.
Dari segi tanggung jawab, mereka belum sepenuhnya memiliki
tanggung jawab yang benar-benar bertanggung jawab. Apabila mereka diberi kepercayaan
untuk mengerjakan tugas tertentu, dalam hari-hari pertama mereka terlihat
benar-benar bertanggung jawab atas tugas yang diberikan kepada mereka. Namun,
lama-kelamaan mereka akan terlihat sedikit loyo dan sedikit kendor dalam
mengemban tugas yang diberikan kepada mereka.
Ketidaktanggungjawaban mereka dapat dilihat pula ketika
mereka ujian. Masa-masa ujian yang seharusnya digunakan untuk belajar, namun
kebanyakan mereka menggunakan SKS (Sistem Kebut Semalam), dan hasilnya pun
sudah dapat diprediksi, yaitu hasil ujian dengan nilai yang pas-pasan. Dari
sini kita dapat melihat kurang adanya bentuk tanggung jawab diri pribadi guna
masa depan pribadi pula.
Bentuk kurangnya tanggung jawab juga terbukti dengan
kurang bisanya mereka mengatur keuangan. Mereka yang tinggal jauh dari orang
tua (merantau) terkadang lebih memilih untuk membelanjakan uang yang seharusnya
untuk membayar kuliah dengan membeli barang-barang pribadi sesuai dengan
keinginan mereka tanpa mempedulikan akibatnya. Bahkan mereka tidak memikirkan
bagaimana perjuangan orang tua mereka untuk mencari uang guna membayar
perkuliahan mereka.
Namun, tidak semua dari mahasiswa
STKIP Widya Yuwana Madiun ini tidak atau kurang
bertanggung jawab. Ada pula yang diantara mereka sudah bertanggung jawab penuh
atas diri mereka baik untuk sosial, individu, maupun moral.
Sifat berdiri sendiri (self standing) juga mempengaruhi kedewasaan seseorang. Dimana para mahasiswa
STKIP Widya Yuwana Madiun ada yang kurang bisa berdiri
sendiri pada kehidupan mereka. Sifat self
standing adalah sifat dimana seseorang tidak bergantung pada orang lain dan
dapat menerima kritik dan saran dari orang lain.
Dalam lingkup mahasiswa STKIP Widya Yuwana Madiun, masih ada mahasiswa yang masih
tergantung pada orang lain. Hal ini secara tidak langsung dapat membuat kurang
berkembangnya pola pikir diri pribadi mereka. Padahal apabila mereka tetap
dalam sifat yang tergantung pada orang lain, diri pribadi mereka sendiri pun kurang
atau bahkan tidak akan berkembang. Tidak hanya merugikan diri sendiri, tapi
sifat kurang berdiri sendiri juga dapat merugikan orang lain. Bagi orang yang
menjadi korban dari temannya yang kurang berdiri sendiri, mungkin dia merasa
kurang nyaman karena merasa selalu digantungkan dalam hal ini dan itu.
Orang yang bisa berdiri sendiri adalah orang yang bisa
menerima kritik dan sran dari orang lain dengan cara yang bijaksana. Orang yang
kurang dewasa akan mudah marah dan mudah menyimpan dendam kepada orang yang
memberi kritik dan saran.
Mahasiswa STKIP Widya Yuwana Madiun masih ada yang mudah marah jika
mereka dikritik mengenai keburukan sifat mereka. Mereka justru menganggap bahwa
yang memberi kritik terhadap mereka adalah ancaman bagi mereka. Mereka menjadi
merasa dikucilkan karena pola pikir mereka sendiri yang kurang dewasa. Mereka
tidak sadar bahwa orang-orang yang memberi kritikan kepada mereka justru adalah
orang-orang yang peduli terhadap kemajuan diri mereka. Bentuk kritikan yang
diberikan diharapkan mampu menjadikan mereka pribadi yang lebih baik dari yang
sebelumnya. Namun ada pula mahasiswa yang tidak berfikir seperti itu.
Bentuk kedewasaan yang terakhir adalah adanya sifat
kestabilan dalam bertindak. Dimana orang mampu menempatkan diri dalam bertindak
dan bertingkah laku. Mereka juga stabil dalam pandangan hidup.
Sebagian mahasiswa STKIP Widya Yuwana Madiun masih ada yang kurang stabil
dalam bertindak. Dimana mereka masih dalam keadaan labil ketika mereka
melakukan suatu tindakan. Seperti kata sebuah peribahasa “seperti air di atas
daun talas”, begitu jugalah sebagian dari para mahasiswa semester satu. Suatu
waktu mereka bisa berkata “A” tapi nanti di lain waktu mereka bisa mengatakan
“B” dalam topik pembicaraan yang sama.
Belum bisanya menempatkan diri dalam tindakan juga
terjadi pada sebagian diri mahasiswa STKIP Widya Yuwana Madiun. Mereka kurang bisa menempatkan
diri dalam setiap tindakan mereka. Khususnya bagi mereka yang belum sepenuhnya
dewasa dalam tindakan. Ketika dalam suatu peristiwa sedih atau berkabung,
terkadang mereka masih saja sempat bercanda dan tertawa.
Namun, tidak semua mahasiswa
STKIP Widya Yuwana Madiun bertindak demikian dalam
kedewasaan hidup mereka. Tingkat kedewasaan mereka yang baru lulus SMA tentu
saja berbeda dengan mereka yang sudah pernah kuliah dan bekerja bahkan dengan
mereka yang sudah berkeluarga.
Mereka yang sudah pernah kuliah dan bekerja tentu saja
lebih stabil dalam kedewasaan hidup. Mereka lebih bisa menata diri dan
bertanggung jawab atas diri mereka sendiri. Mereka lebih bisa mengatur diri
dalam bertindak dan berkata-kata. Mereka juga lebih dewasa dalam menempatkan
diri mereka di mana mereka berada. Demikian juga dengan yang sudah berkeluarga.
Lebih dapat menata diri dan sadar bahwa hidupnya bukan hanya untuk diriya
sendiri, tetapi juga untuk pasangan hidupnya.
2.3.
GARIS BESAR PEMECAHAN PERSOALAN
Kita menjumpai persoalan hubungan antara kedewasaan
manusiawi dan kedewasaan kristiani. Segala sesuatu yang kita lihat hingga
sekarang ini mendorong kita untuk menyimpulkan, bahwa kedewasaan kristiani
pasti tergantung pada kedewasaan manusiawi.
Tuhan memberi kepada seseorang waktu untuk maju menuju
kedewasaan yang abadi, dengan langkah yang selaras dengan perkembangannya
sebagai manusia. Demikian pula Tuhan memberi kepada seseorang suatu kedewasaan
iman sebagaimana mestinya manusia. Kedewasaan iman yang sebenarnya tentu saja
berjalan seiringan dengan kedewasaan manusiawi. Semuanya tergantung bagaimana
manusia itu menggunakan kedewasaan iman dan kedewasaan manusiawinya secara
seimbang dan tanpa berat sebelah.
Agama kristiani menuntut kebebasan serta motivasi secara
sadar tanpa menyertakan keegoisan. Suatu agama yang bersifat pribadi menuntut
hati nurani yang mampu untuk mengambil keputusan serta sadar akan sebuah tanggung
jawab.
Di luar setiap prinsip, Yesus Kristus sendirilah yang
kehidupan dan tingkah laku-Nya menjadi norma kehidupan kita. Santo Lukas
menulis: “Dan Yesus bertambah besar dan berkembanglah akal budi-Nya; lagi pula
makin lama makin lebih menjadi kesukaan bagi Allah dan manusia” (Luk 2: 52).
Secara dewasa Yesus pergi menjumpai saat sengsara dan wafat-Nya dengan
kesadaran yang utuh.
Tindakan apakah yang harus kita ambil untuk sekaligus
memupuk suatu kedewasaan kristiani dan kedewasaan manusiawi?
Kita harusnya merefleksikan kehidupan manusia serta
situasi yang sebenarnya dari dunia dan manusia dalam keadaan yang sesungguhnya.
Hanya sekedar refleksi saja belumlah cukup untuk mencapai suatu kedewasaan,
tetapi merupakan unsur untuk mencapai sikap dewasa secara intelektual dan
emosional.
Kita juga harus memberi lebih banyak kesempatan untuk
bertindak secara bertanggung jawab hingga kebebasan dapat dilatih, kebiasaan
untuk mengambil keputusan, serta realita kehidupan dapat dihadapi dengan gagah
berani.
Kita harus memikul serta sadar segala kesulitan,
kegagalan dan keterbatasan dalam keteguhan iman. Kita harus hidup dalam
lingkungan orang-orang kristiani yang sungguh-sungguh dewasa.
Kita perlu mengingat perkataan Kristus: “... sekiranya
kamu tidak berbalik menjadi anak kecil, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan
Sorga” (Mat 18: 3). Pengertian yang sepenuhnya jelas: orang yang berbuat jahat,
yang lebih menguasai daripada melayani, orang yang menolak untuk menyerahkan
dirinya ke dalam rangkulan Tuhan, orang semacam itu menolak satu-satunya
kehidupan yang sebenarnya dan tidak dapat memasuki Kerajaan Kristus.
Yesus tidaklah mengatakan: “Biarlah kamu selalu menjadi
anak-anak”, tetapi, kamu yang sebenarnya orang-orang dewasa, “jadilah sebagai
anak-anak kecil ini”. Apa yang dikehendaki oleh Yesus adalah pertobata orang
dewasa. Anak yang sejati menurut Kristus adalah orang dewasa yang muak dengan
keagungan manusia yang dangkal; yang penuh rasa tanggung jawab; yang mungkin
pernah dilukai oleh pengalaman hidup, namun benar-benar menyadari, bahwa
seseorang selalu merupakan anak di hadapan Bapa.
BAB III
PENUTUP
REFLEKSI PRIBADI PENULIS
Sebuah kedewasaan merupakan hal yang tidak bisa lepas
dari kehidupan diri manusia, termasuk dalam kehidupan diri penulis pribadi.
Penulis sepenuhnya menyadari bahwa penulis sendiri belum mengalami kedewasaan.
Dalam bertanggung jawab, penulis seringkali lalai dalam tindak tanggung jawab
akan diri penulis pribadi, bertanggung jawab secara sosial, dan bertanggung
jawab secara moral penulis.
Dalam tanggung jawab secara pribadi, penulis seringkali
kurang bertanggung jawab atas diri pribadi penulis. Seringkali mementingkan
sifat egois daripada kepentingan masa depan penulis. Ketidaktanggungjawaban
penulis juga dapat dilihat dalam proses belajar. Dimana penulis seringkali
belajar ketika ada ujian saja, sehingga menyebabkan penulis kurang paham akan
materi perkuliahan yang diujikan.
Penulis juga menyadari bahwa penulis belum sepenuhnya
dapat berdiri sendiri dalam kehidupan, karena terkadang penulis masih tergantung
pada orang lain dalam segala hal. Kurang pekanya diri penulis akan manfaat dari
sikap mandiri guna penataan hidup yang akan datang. Ketika menerima kritik dan
saran dari orang lain, terkadang penulis merasa marah karena merasa dibenci
orang yang mengkritik tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, sedikit demi
sedikit penulis dapat menyadari betapa pentingnya kritik dan saran dari orang
lain karena mereka menaruh perhatian lebih kepada kita guna kemajuan diri kita
menuju hidup yang lebih baik.
Demikian penulis menyadari bahwa diri penulis belum
sepenuhnya dewasa dalam tindakan, moral, dan kemandirian hidup. Namun, penulis
akan tetap berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih dewasa dari yang
sebelumnya karena penulis percaya bahwa “tidak
ada kata terlambat untuk berubah”.
DAFTAR PUSTAKA
Lembaga
Alkitab Indonesia, 2012, Alkitab
Deuterokanonika, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
Liege, 1982, Kedewasaan
Manusiawi dan Kedewasaan Kristiani, Yogyakarta: Pradnyawidya.
Mappiare Andi, 1987, Psikologi
Orang Dewasa, Surabaya: Usaha Nasional.
0 comments:
Post a Comment