BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang Masalah
Para
nabi terkenal dengan seniman-seniman sabda. Ia berbicara atas nama Allah, dan
dengan demikian pewartaan nabi menyampaikan sabda Allah bagi manusia. Nabi
adalah orang-orang yang memiliki hubungan sangat erat dan sangat mendasar
dengan Allah. Dapat dikatakan, mereka adalah orang-orang Allah. Namun mereka
juga orang-orang yang amat sangat prihatin dengan kehidupan masyarakat yang
nyata. Dengan demikian, nabi merupakan pelayan atau abdi Allah yang menjadi
perpanjangan mulut atau tangan Allah dalam karya keselamatan bagi umat manusia.
Menjadi
seorang katekis, sama halnya menjadi seorang nabi. Maka, nabi dan katekis
memiliki tugas yang sama yakni mewartakan. Menjadi katekis berarti memiliki
peranan penting dalam kehidupan Gereja untuk mewartakan karya keselamatan bagi
seluruh umat. Tugas dan peranan katekis yang luhur dan mulia tentu bukanlah hal
yang mudah untuk dilaksanakan. Tentu akan dijumpai berbagai macam tantangan
yang menghadang. Tantangan yang akan menjadi batu sandungan bagi katekis.
Katekis dalam menghadapi tantangan ini hendaknya mampu mencari solusi dan jalan
keluar dalam bersikap dan bertindak di tengah dunia dewasa ini.
Nabi
Yeremia dapat dijadikan sosok yang menjadi teladan bagi para katekis untuk
melakukan karya dan pelayanan di tengah umat. Nabi Yeremia menerima tugas
panggilannya dengan penuh ketulusan dan senantiasa percaya akan janji Tuhan atas
dirinya (Yer 1:8). Yeremia sebagai nabi harus menghadapi bangsa yang durhaka
terhadap Allah dan bahkan menolak pelayanan yang dilakukan olehnya. Kendati
demikian, Yeremia tetap setia melayani bangsa Israel dengan penuh kasih
layaknya ia mengasihi Allah. Banyak tantangan yang harus dihadapi oleh Yeremia
sampai harus mempertaruhkan nyawanya akibat penolakan yang terjadi terhadapnya.
Namun, tantangan yang ada justru semakin meneguhkan iman Yeremia dan tidak
memudarkan semangatnya untuk terus melayani Allah dan bangsa Israel.
Melihat
pernyataan di atas, penulis merasa tertarik untuk menulis sebuah karya tulis
dengan judul: “RELEVANSI NABI YEREMIA
BAGI KARYA DAN PELAYANAN KATEKIS DEWASA INI”.
Penulis berharap, agar para calon katekis
dapat semakin terpanggil untuk melaksanakan tugas perutusannya sebagai seorang
pewarta dengan meneladani semangat pewartaan para nabi Yeremia yang senantiasa
berjuang untuk mewartakan Kerajaan Allah di tengah umat.
1.2.
Rumusan
Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang
masalah di atas, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang hendak dikaji
dalam karya tulis ini yakni sebagai berikut:
1.2.1. Siapa
itu para nabi?
1.2.2. Siapa
yang disebut dengan katekis?
1.2.3. Bagaimana
relevansi nabi Yeremia bagi karya dan pelayanan katekis dewasa ini?
1.3.
Tujuan
Adapun beberapa tujuan dibuatnya
karya tulis ini ialah:
1.3.1. Menjelaskan
mengenai pengertian nabi.
1.3.2. Menjelaskan
mengenai pengertian katekis.
1.3.3. Memaparkan
relevansi nabi Yeremia bagi karya dan pelayanan katekis dewasa ini.
BAB II
NABI YEREMIA
2.1.
Pengertian
Nabi
Nabi
pada umumnya diartikan sebagai seseorang yang berbicara atas nama Tuhan dan
menyampaikan apa yang menjadi pesan Tuhan kepada manusia; entah pesan itu yang
sudah lampau, saat itu atau masa yang akan datang. Maka umumnya nabi adalah
seseorang yang diterangi/dikaruniai Tuhan untuk memberikan nubuat, berkhotbah
menyampaikan pesan, petunjuk, perintah Tuhan dan kehendak-Nya kepada umat-Nya
(lih. 1Kor 14:37, 1Raj 22:7). Selain menyampaikan nubuat, para nabi juga
menegur umat Tuhan jika mereka menyimpang dari kehendak Tuhan. Katekismus
Gereja Katolik (KGK) juga mengatakan hal yang serupa mengenai para nabi (bdk.
KGK 64, 201, 522, 726, 2581 dan 2595).
Nabi
disebut juga sebagai jembatan perantara, penyambung lidah, serta tangan kanan
Allah untuk menyampaikan pesan Allah. Nabi adalah dia yang berbicara atas nama
dan demi Allah. Dia adalah antena Tuhan dengan kekuatan kata-kata yang
mempesona. (bdk, Supriyadi, 2011:1).
2.1.1.
Ajaran
para Nabi
Para
nabi berperan penting bagi perkembangan agama bangsa Israel. Mereka bukan hanya
mempertahankan dan membimbing bangsanya
dalam kepercayaan murni kepada yahwe, Allahnya. Mereka juga memegang peranan
utama dalam pengembangan pernyataan Ilahi. Dalam peranan ini, masing-masing
nabi mengambil bagiannya sendiri dan masing-masing turut pula memberi sumbangan
bagi ajaran keagamaan. Sumbangan mereka saling bertemu dan bergabung menurut
tiga (3) tema pokok yaitu: monoteisme, ajaran kesusilaan dan penantian akan
keselamatan.
a.
Monoteisme.
Secara
falsafiah, monoteisme dapat dirumuskan: hanya mengakui adanya satu Allah dan
tidak ada allah-allah lain. Allah itu adalah Allah yang transenden yang
mengatasi dan melampaui segala ciptaan. Transendensi Allah terutama diungkapkan
oleh para nabi dengan berkata bahwa, Allah adalah “kudus”.
b.
Ajaran
Kesusilaan. Ajaran kesusilaan merupakan ajaran
mengenai moral dan kehidupan. Ajaran yang baik mengenai sopan santun, etika,
moral dan tata hidup bersama.
c.
Penantian
akan Keselamatan. Kesejahteraan sejati hanya menyertai
Allah yang berkuasa sebagai Raja dan mengandaikan suatu suasana spiritual
yaitu: keadilan dan kesucian, pertobatan batiniah dan pengampunan ilahi.
2.1.2.
Fungsi
dan Tugas Nabi
Para nabi disebut
sebagai “suara hati umat Allah”. Para
nabi diutus Tuhan untuk mempertahankan dan memperteguh umat Allah dalam kepercayaan
sejati kepada Tuhan yang mengikat perjanjian-Nya dengan umat pilihan-Nya. Para
nabi bukanlah pendiri agama baru, tetapi pembaharu dan penyemangat iman
kepercayaan yang lama. Mereka bertugas mempertahankan dan memperhalus iman
kepercayaan sejati, maka ada kesamaan dasariah antara semua nabi.
2.2.
Nabi
Yeremia
Dari
antara para nabi Israel, Yeremialah yang dikenal paling baik. Dalam kitabnya
terserak-serak banyak berita tentang hal-ihwalnya. Hampir saja dapat disusun
sebuah “riwayat hidup” kalau semua berita dibaca dalam urutan sebagai berikut:
Yer 1:4 dst.; 19:1 - 20:6; 26; 36; 45; 28-29; 51: 59-64; 34:8-22; 37-44.
Yeremia
berasal dari sebuah keluarga imam. Mereka bertempat tinggal di desa Anatot,
tidak jauh dari Yerusalem. Rupanya keluarga itu tidak mendapat giliran untuk
bertugas di dalam Bait Allah. Paling sedikit tidak ada satu berita pun bahwa
Yeremia bertugas sebagai imam. Oleh Tuhan, Yeremia dilarang beristri dan
berkeluarga (Yer 16). Ini sebuah contoh bagaimana seluruh pribadi dan hidup
seorang nabi diabdaikan kepada tugas dan pesannya. Gaya hidup pribadi menjadi
sebuah tanda dan nubuat. Masih muda (± 20 tahun) Yeremia dipanggil menjadi
nabi. Ia sendiri tidak mempunyai minat sedikit pun dan sekali-kali tidak
mencalonkan diri. Kalau ia sendiri, Yeremia lebih suka hidup dengan
tenang-tenang saja, ramah tamah dengan semua orang.
Sebab
Yeremia seorang yang sangat halus perasaannya dan memiliki bakat seni. Tampil
sebagai nabi di ibu kota Yerusalem dengan pesan berupa ancaman belaka sangat
berat rasanya bagi orang kampung yang suka damai itu. Apalagi setelah menjadi
jelas bahwa hampir-hampir saja tidak ada orang yang mau mendengar suaranya.
Yeremia dibenci banyak orang, disiksa dan bahkan mau dibunuh oleh orang
sekampung (Yer 11:18 dst). Terus saja Yeremia berbentrokan dengan kalangan atas
di Yerusalem, raja-raja, para penguasa dan pemimpin sekalipun Yeremia tidak
mampu memberikan bukti bahwa pesannya tepat dan benar (Yer 28). Nabi Yeremia
mencintai bangsanya dan hatinya menderita sewaktu menyaksikan kemalangan yang
mendatangi bangsanya yang dengan nekad lari menuju kemusnahannya (Yer 4:19;
8:18).
Kadang-kadang
tugasnya menjadi begitu berat bagi Yeremia, sehingga nabi mau memberontak.
Dalam kitabnya terdapat beberapa keluhan pribadi. Di dalamnya Yeremia mencurahkan
segenap isi hatinya yang menderita tertekan oleh tugas kenabian yang terlalu
berat. Keluhan-keluhan itu menyatakan siapa sebenarnya nabi Yeremia (Yer 11:18
– 12:6; 15:10-21; 17:14-18; 18:18-23; 20:7-18).
Namun
demikian Yeremia adalah seorang yang benar-benar percaya pada Tuhanya. Antara
dirinya dan Allah terdapat hubungan yang amat pribadi dan mesra. Secara pribadi
ia sangat menderita, lahir dan batin. Nampaknya seluruh karyanya menemui
kegagalan total. Dalam kemelut dan kegoncangannya, Yeremia yang secara
manusiawi tidak melihat lagi jalan keluar, tetap yakin bahwa Tuhan dapat dan
mau menyelamatkan sisa umat. Diantara sekian banyak nubuat yang berupa ancaman,
tersebar perkataan-perkataan yang mengungkapkan pengharapan Yeremia yang tak
tergoncang (Yer 3:15; 23:7-8; 29:10 dst; 30:5-24; 31:2-22; 31-34 dll).
Pengalaman pahit memurnikan dan memperdalam kepercayaan pribadi nabi. Dan
melalui nubuat-nubuatnya, Yeremia ingin membina kepercayaan yang sama pada umat
Allah.
Semasa
hidupnya, nabi Yeremia rupanya gagal. Tetapi di hari kemudian ia semakin
berpengaruh. Mulai dengan masa pembuangan nubuat-nubuat Yeremia kerap dibaca,
direnungkan dan diresapkan ke dalam hati umat. Di zaman para Makabe (2 Mak
2:1-8; 15:12-16) Yeremia yang dahulu ditolak, oleh orang Yahudi dihormati
sebagai pelindung bangsa.
2.2.1.
Zaman
Nabi Yeremia
Nabi
Yeremia tampil di panggung sejarah umat Allah hampir seratus tahun. Ia berkarya
empat puluh tahun lamanya, selama masa pemerintahan lima raja Yehuda, yaitu
dari sekitar tahun 626 sampai dengan tahun 586 sebelum Masehi. Kapan dan di
mana Yeremia meninggal tidak dapat dipastikan lagi. Pada masanya masih ada
nabi-nabi lain yang berkarya, yaitu Zefanya, Habakuk, Nahum dan Yehezkiel.
Tetapi nabi Yeremialah yang paling menonjol dan paling berpengaruh.
Di
masa itu umat Allah memang sangat membutuhkan firman Tuhan. Di zaman itu bangsa
Israel mengalami kemelut yang paling hebat dalam seluruh sejarahnya. Yeremia
menyaksikan semua dan sangat terlibat di dalamnya.
Dunia
politik di kawasan Timur Tengah di zaman itu mengalami pergolakan yang hebat
sekali dan tidak dapat tidak menyangkut negara Yehuda. Kuasa-kuasa politik yang
berperanan ialah kerajaan Asyur, kerajaan Babel (baru) dan kerajaan Mesir.
Kerajaan Yehuda beralih tangan dari Asyur kepada Mesir, lantas kepada Babel.
Menjelang
akhir kerajaan Yehuda kegiatan dan penderitaan Yeremia meningkat. Terus saja
sampai dengan waktu Yerusalem dikepung, nabi mengajak raja dan rakyat agar
menyerah saja. Sebab itulah satu-satunya jalan untuk meluputkan diri dari
kemusnahan total (Yer 21; 34; 37; 38). Sikap dan perkataan itu hanya menambah
kebencian dari pihak pegawai dan militer tinggi. Yeremia akhirnya dipenjarakan
dan nyaris dibunuh oleh mereka (Yer 37-38).
Selama
keadaan di Yehuda semakin menggawat, Yeremia terus berhubungan pada kaum
buangan yang pada tahun 597 diangkut ke Babel. Ia mengajak mereka supaya
menerima saja keadaannya sebab untuk sementara waktu (Yer 51:59 dst) tidak akan
dipulihkan walaupun mereka mengharapkan demikian dan dalam pengharapan sia-sia
tersebut didukung oleh nabi-nabi palsu (Yer 29). Di Yehuda pun pengharapan
sia-sia tersebut didukung nabi-nabi palsu (Yer 28). Memang seringkali Yeremia
berbentrokan dengan nabi-nabi gadungan yang paling menghalang karyanya (Yer
23:9 dst). Yeremia berusaha meyakinkan orang sebangsa bahwa kaum buangan
tersebut sebenarnya “sisa” umat yang akan selamat, padahal penduduk Yerusalem
yang menganggap diri “selamat” sebenarnya justru paling buruk dan terancam
hukuman lebih berat lagi (Yer 24).
2.2.2.
Panggilan
dalam Kesepian
Membaca Kitab Yeremia
segera akan terasa bahwa nabi ini dipanggil hidup dalam kesepian. Apa yang
dirumuskan dalam Yer 15:17; “tidak pernah aku duduk beria-ria dalam pertemuan
orang-orang bersenda-gurau; karena tekanan tangan-Mu aku duduk sendirian, sebab
engkau telah memenuhi aku dengan geram”, sungguh memberikan ciri yang amat
kuat.
Ia adalah nabi yang
tidak dipahami bahkan dikejar-kejar. Ia tidak dikasihi oleh mereka yang
seharusnya mendukung pelayanannya (Yer 12:6; 20:10). Ia tidak bersama keluarga
bila ada pesta, bahkan bila ada dukacita (Yer 16:5-9). Hidup sendiri tidak
mengenal hidup keluarga menjadi tanda penderitaan hebat (Yer 16:1-4). Ia pernah
dipenjara, diasingkan ke Mesir dan hidupnya berakhir di tanah asing. Orang
tidak mengenal kuburnya. Namun demikian, warisan tulisannya mengajarkan banyak
kepada kita mengenai pengalaman iman dan batinnya. Kita mengenal kesepian itu
bukan karena watak dan bakatnya yang murung, melainkan karena panggilan
hidupnya yang berat. Ia tidak menghendaki, tetapi didorong dari dalam, untuk
memprihatinkan orang lain. Kekuatan yang memaksanya itu ialah firman Allah. Firman
itu menurut nabi “menjadi kegirangan bagiku, dan menjadi kesukaan hatiku, sebab
nama-Mu telah diserukan atasku, ya Tuhan, Allah semesta alam” (Yer 15:16).
Namun sekaligus firman itu juga membuat “hatiku hancur dalam dadaku, segala
tulangku goyah” (Yer 23:9). Firman itu menjadi seperti api dan seperti palu
yang menghancurkan bukit (lih. Yer
23:29; bdk. 20:9).
2.2.3.
Keaslian
Panggilannya
Dalam masa nabi
Yeremia, ternyata bukan hanya nabi yang berbicara. Ada beberapa nabi yang
tampil dengan keyakinannya. Dan inilah yang istimewa. Disebutkan bahwa Nabi
Uria bin Semaya juga bernubuat atas nama Tuhan (Yer 26:20-24), lalu Hananya
yang diajak bertengkar (Yer 28), Ahab bin Kolaya dan Zedekia bin Maaseya yang
bernubuat palsu (Yer 29:21). Masih banyak lagi nabi yang tidak disebut namanya
(Yer 2:8.26.30; 4:9; 5:13.31;6:13-14; 26:7-16; 27:16-180), ada nabi-nabi yang
disapa (Yer 29:4-40) dan dikutip (Yer 14:13) juga dalam lingkungan pembuangan
Babel (Yer 29:1).
Nabi sendiri sebetulnya
menyadari sepenuhnya panggilannya. Mengenai panggilan itu, ia yakin tidak
berbuat salah. Ia telah merencanakan firman Allah (Yer 15:16), ia jujur
terhadap firman itu (Yer 17:16). Ia membela para nabi, seperti sudah semestinya
dilaksanakan (Yer 18:20; 14:13; 17:16). Tetapi mengapa ia dirundung derita dan
kemalangan?
Jawaban Allah yang
jelas tidak ada. Derita dan kemalangannya dipahami dan dilihat Allah. Ia hanya
mencoba agar firman Allah lebih bernada, lebih bersuara dan didengar (Yer
15:19). Pada akhirnya yang tinggal hanyalah iman bahwa Allah benar dan nabi
hidup di hadirat-Nya.
Yeremia tampaknya
mengalami penderitaan yang dinubuatkannya sendiri dan bangsa yang disapanya
merenungkan nasib mereka. Murid-murid mengumpulkan nubuat-nubuatnya dan kisah-kisah
kehidupannya, dan Yeremia diterima sebagai nabi yang diutus oleh Allah.
2.2.4.
Beberapa
Catatan Kehidupannya
Kehidupan nabi sendiri
sebetulnya hanya disinggung secara sepintas bagaikan latar belakang. Banyak hal
yang tidak jelas dan hanya bisa diperkirakan. Menurut Yer 1:1, ia berasal dari
Anatot, di tanah Benyamin, wilayah Yehuda tidak jauh dari Yerusalem. Keluarganya
memiliki tanah yang luas (Yer 32; 37:12). Ada yang menduga nabi ini masih
keluarga Abyatar yang diasingkan oleh Salomo ke Anatot (1Raj 2:26-27).
Pendidikan keluarga yang saleh, kenangan akan tradisi keluarga yang kaya serta
dekat dengan tradisi kerajaan Utara tampaknya mempengaruhi gaya pemikiran dan
pewartaannya. Semua ini tidaklah terlalu jelas.
Bisa diperkirakan garis
besar kehidupannya. Tampaknya pada tahun 608 nabi melihat situasi Yerusalem
yang amat jelek, sehingga ia perlu menyampaikan pewartaannya (Yer 26; bdk. 7:1 – 8:3). Sekitar tahun 605 ia
menyusun kumpulan nubuat-nubuatnya dan beberapa hal yang diingat oleh
pendengarnya (Yer 36). Debat dengan para nabi lainnya (Yer 27-28) ditempatkan
sekitar 594. Tidak lama kemudian, ia mengirim surat kepada mereka yang dibuang
ke Babel (Yer 29). Kegiatan sesudahnya menjadi bahan pembicaraan dalam Yer 32-35
dan Yer 37-44. Hal ini bisa memberikan sekedar gambaran bagaimana kehidupan
nabi menghadapi firman Tuhan yang memprihatinkan.
2.2.5.
Pelayanan
Firman
Kesepian yang
memberikan ciri pada pewartaan nabi sejak awal pelayanannya bukanlah sekedar
pengalaman rohani yang mengesankan, melainkan sekaligus juga menjadi isi
pewartaannya. Ia menjadikannya sebuah pengakuan. Pesan itu diwartakan di
hadapan umat Yehuda, sehingga mereka merasa seperti bukan apa-apa (Yer
4:23-26). Kesepian nabi mendapatkan dimensi politis dalam pewartaan itu, karena
ada tindakan Yehuda tergantung dari menerima atau menolak warta kenabian
tersebut. Bila kesepian itu terus ada, dan Yehuda tetap menolak pesannya, maka
nabi akan hidup sendirian untuk mengatasi kehancuran; sedang kalau Yehuda
mendengarkan, maka malapetaka akan dihindari dan hal yang baru akan muncul.
Maka warta nabi menantang suatu tindakan radikal. Menurut situasi ini,
tampaknya nabi mengalami tiga periode besar dalam pewartaannya.
Periode pertama adalah
awal panggilan (tidak jelas kapan) sampai sekitar tahun 605, yakni peristiwa
perang Karkemisy yang menentukan situasi politik waktu itu. Di zaman
pemerintahan raja Yosia – wafat tahun 609 – Yehuda mengalami masa tenang dan
makmur. Asyur tidak lagi menjadi ancaman bagi negara tetangga dan Yehuda
mengalami masa bebas yang menguntungkan.
Periode kedua
berlangsung antara tahun 605-587, ketika Yehuda mengalami bencana serangan
Babel oleh Nebukadnezar. Kegiatan nabi lebih memiliki makna. Masa tersebut
adalah masa yang sulit. Ketika bala tentara Babel memenangkan perang melawan
Damsyik dan Samaria serta mulai memaksakan kehendaknya juga pada negara-negara
kecil lainnya, maka Yehuda juga mulai diancam kemerdekaannya.
Periode ketiga dimulai
setelah tahun 587 sesudah jatuhnya Yerusalem. Sesudah jatuhnya Yerusalem, masih
banyak orang yang tinggal di Yerusalem dan Yehuda. Dalam masyarakat timbul
ketidakpastian besar. Dalam ketidakpastian itu tampaknya ada beberapa aliran
yang nyata. Pertama, aliran yang
hendak membangun kehidupan bersama kekuatan Babel. Termasuk diantaranya adalah
Yeremia. Kedua, aliran yang secara
fanatik hendak meneruskan perjuangan, tampaknya dibantu oleh kekuatan suku
Amon, mereka membuat teror (Yer 41). Ketiga,
mereka yang lebih suka melarikan diri ke Mesir. Kelompok ini akhirnya
kehilangan jejak.
2.2.6.
Kitab
Nabi Yeremia
Membaca Kitab Yeremia,
orang pasti berkesan bahwa kitab ini kacau-balau dan tidak teratur. Kesan itu
tepat juga. Apa yang paling mencolok ialah: terdapatnya bagian berupa sajak dan
nubuat. Tetapi ada juga bagian berupa cerita. Dalam sebagian cerita tersebut,
nabi sendiri angkat bicara untuk memberitahukan bahwa Tuhan menyampaikan firman
kepadanya (Yer 11:1 dst; 17:19 dst; 19:1 dst; 22:1 dst; 25:15 dst; 35:3 dst).
Dalam lain cerita, terdapat orang lain yang berkata mengenai firman Tuhan yang
disampaikan kepada Yeremia (Yer 7:1 dst; 25:1 dst; 27:1 dst; 32:26 dst; 34:1
dst). Ada lagi sejumlah cerita di mana seseorang memberitahu tentang hal-ihwal
nabi Yeremia (Yer 19:14 dst; 26:1 dst; 28:5 dst; 37; 38; dan 39-44). Kalau
semua cerita itu diselidiki maka ternyata urutan bagian-bagian itu tidak sesuai
dengan urutan peristiwa-peristiwa dalam waktu. Ditinjau dari segi itu, semua
dikacau-balaukan.
Melihat gejala-gejala
tersebut dan lain-lain gejala pasti disimpulkan bahwa Kitab nabi Yeremia
seperti tercantum dalam Alkitab sekarang tersusun atas dasar beberapa unsur
yang mula-mula tersendiri dan kemudian dicampur-adukkan.
Adanya kekacauan dalam
Kitab Yeremia (dan lain-lain kitab kenabian) menyatakan bahwa masing-masing
bagian kitab itu tidak terikat pada waktu dan keadaan tertentu. Melalui
kekacauan tersebut, pesan itu seolah-olah dilepaskan dari latar belakangnya. Ia
menjadi pesan abadi yang disampaikan kepada setiap manusia, manapun juga waktu
dan keadaannya. Oleh karena itu, masing-masing bagian boleh bahkan harus dibaca
sendiri-sendiri dan pesannya dapat digali dan diresapkan ke dalam hati.
Seperti terdapat dalam
Alkitab Ibrani dan dalam terjemahan Indonesia, Kitab Yeremia terdiri dari empat
bagian. Bagian pertama (bab 1-25) memuat terutama nubuat-nubuat berupa ancaman
yang ditujukan kepada umat Israel. Bagian kedua (bab 26-45) terutama menyajikan
cerita-cerita tentang nabi Yeremia. Bagian ketiga (bab 46-51) memuat
nubuat-nubuat berupa ancaman mengenai bangsa-bangsa lain. Bagian keempat (bab
52) berupa suatu tambahan yang diambil dari 2Raj 24:18 – 25:21.
2.2.7.
Terbentuknya
Yeremia
Bagian-bagian
pokok bahan kitab Yeremia sebenarnya sederhana, yaitu:
1:1-25:14
|
Merupakan
kumpulan nubuat dan tindak kenabian yang dilancarkan nabi terhadap Yehuda
|
26:1-45:5
|
Nubuat
nabi untuk Israel-Yehuda dan kisah tentang kegiatan nabi
|
46:1-51:64
|
Dengan
pembukaan pada 25:15-38 merupakan kumpulan nubuat untuk bangsa-bangsa
|
52:1-34
|
Tambahan
sejarah diambil dari 2Raj 24:18-25:30, dengan tambahan keterangan mengenai
jatuhnya Yerusalem
|
Kalau
memperhatikan bagian pertama kumpulan (Yer 1-25) tampaknya nubuat-nubuat ini
mencerminkan suasana sekitar tahun 605. Yang mengherankan ialah bahwa bagian
ini berisi baik prosa maupun puisi, dan menampilkan usaha pengolahan oleh
redaksi. Maka bisa jadi bahwa warisan nabi ini sudah diredaksi dalam lingkungan
kaum deuteronomis selama masa pembuangan. Kendati demikian masih tetap
mencerminkan wawasan dan keprihatinan nabi sendiri.
Bagian
kedua yang mengisahkan kegiatan nabi kiranya disusun oleh Barukh. Namun tidak
ada kepastian mengenai hal itu. Kalau ditulis olehnya, tentu bukan dalam arti
bahwa Barukh bertindak sebagai sekretaris Yeremia, melainkan juga meredaksi
warisan itu. Kita melihat dalam Yer 43:6 bahwa Barukh merupakan seorang
pemimpin yang pro Babel dan dibuang pada waktu yang bersamaan dengan
pengasingan Yeremia.
Pada
awal pembuangan mungkin sudah banyak selebaran maupun tulisan yang berasal dari
nabi. Bahan ini kemudian dikumpulkan dan disusun juga di dalam kumpulan ini.
Redaksi terakhir Yeremia nampaknya dari golongan deuteronomis. Kegiatan sastra
ini tampak sangat mencolok pada pertengahan abad VI di Pelstina. Kegiatan itu
merenungkan kembali dokumen kuno, mengumpulkan dan menjelaskan menjadi warisan
rohani bagai generasi sesudahnya.
2.2.8.
Pesan
Nabi Yeremia
Melalui
nubuat yang berupa ancaman dan janji, Yeremia menyampaikan pesan dasariah yang
keluar dari kelembutan hatinya. Pengalaman yang pahit mematangkan paham nabi
tentang Allah dan tentang umat-Nya.
Sama
seperti nabi-nabi lain, Yeremia yakin bahwa Israel merupakan umat pilhan Tuhan.
Melanjutkan pikiran nabi Hosea, Yeremia menegaskan bahwa hubungan Allah dengan
umat-Nya adalah hubungan kasih, seperti antara suami dengan istrinya (Yer
2:2-3; 3:1-5). Semakin menyedihkan bahwa Israel ternyata “berzinah” dengan
memuja dewa-dewi seperti banyak terjadi pada masa pemerintahan raja Manasye.
Awal pemerintahan raja Yosia, pemerintahan raja Yoyakim dan Zedekia.
Pembaharuan yang dilancarkan raja Yosia tenyata tidak menyangkut hati umat.
Umat mulai mengandalkan upacara-upacara meriah yang diselenggarakan dalam Bait
allah. Ia menyangka Bait Allah serta upacara menjamin keselamatan. Tetapi agama
itu tidak berjiwa, tidak disertai kekuatan yang sepadan. Yeremia mengkritik kepercayaan
pada Bait Allah serta ibadatnya (Yer 6:16-21; 7; 26). Sama seperti dosa keluar
dari hati (Yer 4:4; 17:1,9; 18:12) dan memisahkan dari Tuhan (Yer 17:5),
demikian pun agama sejati yang menyangkut seluruh manusia harus keluar dari
hati. Dalam hal dosa dan agama sejati masing-masing orang secara pribadi
bertanggung jawab (Yer 31:29-30), sehingga tidak dapat mempersalahkan orang
lain. Oleh karena agama sejati berakar dalam hati, maka sarana lahiriah seperti
Tabut Perjanjian, Bait Allah, kurban dan sebagainya tidak mutlak perlu (Yer
3:16).
Pengalaman
pahit meyakinkan Yeremia bahwa begitu saja umat Israel tegasnya manusia, tidak
mungkin bertobat dan menghayati agama sejati seperti dianjurkan nabi. Ia
menjadi putus asa dan tidak melihat kemungkinan manusiawi untuk mendapat
keselamatan (Yer 14:10 dst; 15:1 dst). Paling tegas pendirian itu terungkap
dalam peribahasa ini: Dapatkan orang Etiopia mengganti kulitnya atau macan
tutul mengubah belangnya? Masakan kamu dapat berbuat baik, hai orang-orang yang
membinasakan diri berbuat jahat (Yer 13:23). Berdosa seolah-olah
mendarah-daging pada umat Allah.
Maka
perlulah turun tangan Allah sendiri. Berdasarkan Kepercayaannya Yeremia yakin
bahwa Tuhan yang selalu setia dan tidak berubah (Yer 31:36 dst) akan bertindak.
Ia sendiri menciptakan agama sejati dalam hati manusia yang dari dalam
dilengkapi dengan kemampuan yang perlu. Keyakinan dan kepercayaan tersebut
terungkap dalam nubuat tentang perjanjian baru yang hendak diadakan Tuhan
dengan umat melalui masing-masing orangnya (Yer 31:21-37; 32:40). Meskipun
nubuat itu barangkali tidak berasal dari nabi Yeremia sendiri, namun nas itu
dengan tepat merumuskan pikiran nabi. Agama sejati memiliki ciri batiniah dan
pribadi yang mencolok. Kemesraan pribadi dan batiniah itu menjadi dasar dan
akar segenap penghayatan sejati. Agama sejati tidak lain dari karunia Tuhan
yang membuat manusia “mengenal” Allah, secara pribadi dan mesra bergaul dengan
Dia, mencintai-Nya dan mantaati kehendak-Nya.
2.3.
Pengertian
Katekis
Katekis
berasal dari kata “katechein” yang
berarti mengomunikasikan, membagikan informasi atau mengajarkan hal-hal yang berkaitan
dengan iman (bdk. Bagiyowinadi, 2012: 14). Dengan demikian tugas katekis sudah
nyata bahwa ia membagikan informasi kepada umat. Informasi yang diberikan
kepada umat berkaitan dengan iman dan inilah yang disebut dengan
mengomunikasikan Firman Allah.
Ensiklik
Redemptoris Missio menggambarkan para
katekis sebagai pekerja-pekerja khusus, saksi-saksi langsung para pewarta yang
sangat dibutuhkan yang mewakili kekuatan utama komunitas-komunitas Kristiani
khususnya dalam Gereja muda. Katekis merupakan rekan kerja para hirarki dalam
pelayanan yang berguna untuk membangun Gereja. Akan tetapi katekis bukan hanya
sebagai pelengkap dan penyerta saja. Ia dengan fungsinya yang khas pula (yakni
bertugas di tengah tata dunia) menjadi teman seperjuangan yang patut
diperhatikan nasihat dan tindakannya sejauh demi kepentingan Gereja (Redi,
dalam: http://robertusredi.blogspot.com,
diakses tanggal 7 Oktober 2015).
Katekis
tidak lagi menghayati dan memaknai dirinya sebagai pewarta. Pada kehidupan
nyata, katekis lebih berperan seperti masyarakat pada umumnya. Selain itu, tak
jarang katekis justru mengalami goncangan iman sehingga makna dan hakikat
menjadi pewarta tidak memiliki arti lagi. Akibat tidak menghayati makna dan
hakikat dirinya menjadi katekis, maka imanpun menjadi taruhannya. Katekis
dewasa ini menunjukkan bahwa semangat dirinya untuk melayani dan bekal
pendidikan yang diperoleh tidak lagi dihidupi dan dihayati sebagaimana mestinya
seorang pewarta Allah yang melayani dewasa ini.
2.3.1.
Tugas
dan Fungsi Katekis
Dunia
dewasa ini memberikan pengaruh yang cukup hebat bagi kehidupan manusia.
Pengaruh ini satu per satu dapat merasuk dalam kehidupan manusia. Akibatnya
manusia hanya akan terbawa oleh arus perubahan zaman yang ada. Dengan demikian
katekis sangat dibutuhkan dalam kehidupan dewasa ini. situasi dunia dewasa ini
menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh seorang katekis dalam melaksanakan
dan menjalankan tugasnya.
Menjadi
sorang katekis tentu memiliki tugas-tugas tertentu, diantaranya adalah:
a. Katekis
dengan tugas khusus untuk mengajarkan katekese dan melayani umat.
b. Katekis
yang bekerja sama dalam berbagai bentuk kerasulan dengan para petugas Gereja
yang telah ditahbiskan.
c. Mau
dan mampu mengusahakan dan menggunakan media komunikasi yang sesuai dan
memadai.
Tugas
dan peranan seorang katekis dewasa ini dalam melaksanakan setiap karyanya tidak
mudah. Tugas yang mereka laksanakan atau mereka emban merupakan tugas yang
berat. Katekis hendaknya dapat menyaring, memilih dan menyesuaikan setiap
perkembangan zaman yang ada agar karya pewartaan sesuai bagi dunia dewasa ini.
Di dalam situasi dunia dewasa ini, katekis diharapkan dapat memahami kegiatan
pewartaannya dengan penuh penghayatan. Katekis hendaknya membantu umat supaya
dapat berkembang dalam iman serta senantiasa setia akan allah dalam
kehidupannya. Katekis memiliki peranan penting di dalam tugas pelayanan.
Sehingga diharapkan keterlibatan katekis yang penuh kasih dan kesetiaan kepada
umat-Nya dengan berani melangkah dan bertahan sebagai murid Kristus.
Dengan
demikian peranan katekis bagi dunia saat ini sangat penting. Oleh sebab itu,
tugas pokok seorang katekis perlu untuk terus-menerus dilakukan atau
dilaksanakan. Tugas pokok katekis tersebut yaitu mewartakan Sabda Allah dan
memberikan kesaksian di tengah dunia dewasa ini.
2.3.2.
Syarat
Menjadi Katekis
Menjadi
katekis memiliki syarat atau kriteria yang mendukung keberlangsungan karya
pewartaan. Maka menurut Prasetya (2007: 41) syarat atau kriteria yang
diperlukan antara lain:
a. Memiliki
hidup rohani yang mendalam (doa, membaca Kitab Suci, devosi)
b. Memiliki
nama baik sebagai pribadi dan keluarga (dalam hidup iman dan moral)
c. Diterima
oleh umat (dapat diterima oleh umat di mana ia tinggal)
d. Mempunyai
pengetahuan yang memadai (Kitab Suci, moral, teologi, liturgi, dll)
e. Mempunyai
ketrampilan yang cukup (yang diperlukan dalam proses pewartaannya)
BAB III
PERJUANGAN NABI YEREMIA
3.1.
Suka
dan Duka Karya Nabi Yeremia
3.1.1.
Suka
Nabi Yeremia selalu
menyikapi pergulatan hidupnya dengan penuh kerendahan hati dan keterbukaan akan
sapaan Allah. Sikap hidup nabi Yeremia memampukan dirinya untuk berdiri kokoh
dalam melanjutkan pelayanannya. Meskipun pelayanan yang harus dilaksanakan harus
mempertaruhkan nyawanya sekalipun. Selain itu pengalaman hidup dan pergulatan
yang dialaminya oleh nabi Yeremia justru menjadi kekuatan rohaninya. Sehingga
berkat pengalaman hidup dna pergulatan yang dialaminya semakin membuat nabi
menjadi lebih bertanggungjawab terhadap tugas-tugasnya bahkan tidak pernah
dilalaikan atau ditinggalkan. Hal ini dapat didasari karena besar cinta nabi
Yeremia kepada Allah dan kepada umatnya.
3.1.2.
Duka
Nabi Yeremia mengalami
suatu pergulatan hidup sejak awal panggilannya menjadi seorang nabi. Namun
Yeremia mampu mengatasi hal tersebut dengan pergumulan batin yang diolah dengan
baik. Tetapi pergumulan yang dialami oleh nabi kembali dialami saat Yeremia
melaksanakan karya pelayanannya. Diungkapkan dalam kitab nabi Yeremia mengenai pergulatan
hidup nabi dalam karya pelayanannya ketika harus menjadi penyambung lidah Allah
(Yer 15: 10-14).
Yeremia merupakan
penyambung lidah Allah dan ia melakukan karya pelayanannya dengan tulus. Namun
ketulusan Yeremia ternyata tidak menghasilkan respon yang positif. Meski sudah
berusaha melaksanakan tugas dengan baik sebagai hamba-Nya, namun Yeremia justru
mengalami kebencian dan penganiayaan. Walaupun Yeremia diperlakukan sedemikian
rupa, tetapi ia tetap selalu mendoakan mereka,
3.2.
Kelemahan
dan Kekuatan dalam Karya Nabi Yeremia
3.2.1.
Kelemahan
Dalam kitabYeremia 12:
1-11; 14: 7-11; 15:15-18; 17: 13-18 dan 20: 7-9 berisi mengenai doa-doa nabi
Yeremia yang penuh keluh kesah dan kesedihan kepada Allah. Kemudian kepahitan
hidup yang dirasakan oleh nabi Yeremia sempat membuat ia jatuh dan terpuruk
dalam keputusasaan hidup. Dalam kitab Yeremia juga dikisahkan mengenai perasaan
Yeremia yang hampir tenggelam dalam keputusasaan. Sehingga pada akhirnya
Yeremia bermaksud meninggalkan tugas yang diberikan kepadanya (Yer 15:6 dan Yer
20:9).
Dalam kitabnya terdapat
pula beberapa keluhan pribadi. Di dalamnya Yeremia mencurahkan segenap isi
hatinya yang menderita tertekan oleh tugas kenabian yang terlalu berat.
Keluhan-keluhan itu menyatakan siapa sebenarnya nabi Yeremia (Yer 11:18 – 12:6;
15:10-21; 17:14-18; 18:18-23; 20:7-18).
3.2.2.
Kekuatan
Kekuatan doa Yeremia
menunjukkan hubungannya dengan Allah sangat erat. Kehidupan rohani nabi Yeremia
inilah yang menjadi kekuatan utama dalam melayani. Sehingga Yeremia dalam
pelayanannya selalu bersikap kuat, keras, berani dan tegas terhadap bangsanya.
Meskipun terlihat demikian, namun pada kenyataannya ia merupakan sosok yang
lembut.
3.3.
Tantangan
dan Peluang dalam Karya Nabi Yeremia
3.3.1.
Tantangan
Yeremia
juga manusia biasa yang memiliki perasaan pada umumnya. Yeremia sempat
menyatakan tidak sanggup ketika Allah memberi tahu mengenai tugasnya sebagai
nabi bagi bangsanya. Selama nabi Yeremia mengemban tugasnya, ia harus bergumul
dengan sikap acuh tak acuh, penolakan, ejekan dan bahkan tindak kekerasan fisik
dari bangsanya sendiri. Meskipun demikian Yeremia tetap berusaha melayani
bangsanya yang mayoritas tidak mau menerimanya dan tidak mau mengenal Allah.
3.3.2.
Peluang
Pada waktu Yeremia
hampir kehilangan semangat hidupnya untuk mewartakan firman Allah, tiba-tiba
firman Allah dalam hatinya justru menjadi api yang bernyala-nyala dan tidak
dapat dipadamkan atau disembunyikan. Semua firman Allah seolah-olah harus
disampaikan dan dicurahkan kepada bangsanya. Semangat yang berkobar bangkit
berkat karya Allah yang bekerja dalam hati nabi Yeremia. Yeremia seorang
manusia yang biasa dan lemah dibuat allah menjadi seorang nabi yang luar biasa
kuatnya.
BAB IV
SEMANGAT KENABIAN YEREMIA BAGI
KARYA DAN PELAYANAN KATEKIS DEWASA INI
4.1.
Pengalaman
Kenabian Katekis dalam Menjalani PPL Paroki
Nabi
Yeremia tidak mengandalkan kekuatan dan kata-kata sendiri dalam melaksanakan
tugas pelayanannya. Tugas dan pelayanannya senantiasi dihidupi oleh kekuatan
dari Allah. Berkat semangat nabi Yeremia, kegagalan yang dialaminya tidak menjadikan
dirinya patah semangat dan berpaling dari Allah dalam melayani. Yeremia tetap
semangat dan senantiasa berpegang pada penyertaan Allah dan senantiasa hidup
dengan bertumpu kepada-Nya.
Menjadi
seorang katekis yang melaksanakan PPL Paroki, hendaknya perlu menggunakan
semangat pelayanan seperti halnya Yeremia. Katekis hendaknya memiliki semangat
hidup yang berpusat pada Allah serta meneladan semangat kenabian Yeremia.
Nabi
Yeremia merupakan sosok utusan Allah yang begitu taat dan setia terhadap segala
sesuatu yang ditugaskan dalam hidupnya. Segala sesuatu yang ditugaskan atau
diperintahkan kepadanya selalu dilaksanakan seturut dengan yang allah firmankan
atau sabdakan kepadanya. Saat Allah memanggil dan memilih nabi Yeremia untuk
mewartakan karya keselamatan Allah, ia mampu menerima tugas yang Allah
percayakan tersebut (Yer 1:8-9).
Keteladanan
hidup seperti nabi Yeremia perlu dan sebaiknya harus diteladani oleh katekis.
Terutama katekis yang berkarya dalam situasi dunia dewasa ini, khususnya dalam
menjalankan PPL Paroki. Mengedepankan kehendak Allah di atas segala sesuatu
memang bukan hal yang mudah dan perlu usaha keras dari katekis sendiri. Seperti
halnya cinta nabi Yeremia kepada Allah yang begitu besar, demikian pula dengan
bangsa yang mendurhaka tetap ia kasihi dan ia layani. Maka sudah sepantasnya
juga katekis dapat memiliki kepekaan yang mampu mengutamakan kehendak Allah.
Sehingga dengan demikian akan tumbuh kecintaan kepada Allah dan sesama dengan
setulus hati seperti nabi Yeremia. Selain itu katekis juga harus melayani tanpa
pandang buluh, karena semua merupakan umat yang dikasihi Allah.
Nabi
Yeremia senantiasa hidup dengan mengedepankan kehendak Allah. Berkat hidup
dengan mengedepankan kehendak Allah, nabi Yeremia menjadi peka terhadap Allah
yang senantiasa menggerakkan hatinya. Selain itu nabi Yeremia dapat menanggapi
panggilannya berkat Allah juga yang menggerakkan hatinya. Yeremia merupakan
nabi yang dipilih dan diutus untuk menyelamatkan umat-Nya. Perutusan nabi
Yeremia merupakan karya istimewa Allah yang menggerakkan hatinya dan pada
akhirnya menyanggupkan dirinya menerima dan melaksanakan karya pelayanan.
Disebut karya istimewa karena Allah telah menaruh kepercayaan kepada nabi
Yeremia sebagai umat pilihan-Nya untuk terlibat dalam karya-Nya yang agung dan
mulia (Yer 1:4-19).
Sejak
awal Allah telah memilih Yeremia untuk menjadi nabi, jauh sebelum dirinya
terbentuk dalam rahim ibunya dan dilahirkan ke dunia. Namun nabi Yeremia
seolah-olah sedikit berkelit dan berusaha untuk menghindar dari tugas yang
Allah berikan. Yeremia merasa diri masih muda dan tidak pandai untuk berbicara.
Tetapi pada dasarnya dalam menanggapi perintah dan panggilan dalam tugas
perutusan tersebut bukanlah keterampilan yang menentukan, melainkan kerelaan
hati dan kesanggupan dari nabi sendiri.
Nabi
Yeremia pada akhirnya mampu menyadari panggilan-Nya dengan penuh kerelaan
berkat kuasa Allah yang bekerja dalam hatinya. Nabi Yeremia bersedia menerima
tugas perutusan-Nya untuk bekerjasama dengan Allah. Keputusan nabi Yeremia
berkat dorongan kuasa Allah yang menggerakkan hatinya. Allah menggerakkan hati
nabi Yeremia untuk melayani demi terwujudnya keselamatan bagi umat manusia.
Berkat karya Allah yang bekerja dalam hati Yeremia memampukannya dalam
menghadapi segala kesulitan dan penderitaan yang akan dialaminya dalam
melaksanakan tugas. Dengan demikian, panggilan dan perutusan nabi Yeremia
adalah panggilan yang menguatkan, meneguhkan dan mengokohkan pelayanan Yeremia
karena didasari kekuatan Allah yang mampu menggerakkan hati Yeremia.
Katekis
hendaknya menyadari tugas panggilannya sebagai seorang pewarta karena terdorong
oleh kuasa Allah yang menggerakkan hatinya. Kuasa Allah yang mampu menggerakkan
hati katekis ini merupakan kuasa Roh Allah. Dengan demikian katekis hendaknya
peka akan kehadiran Roh Allah yang menggerakkan hatinya supaya dapat
mengabdikan diri kepada-Nya dan melayani umat dengan baik.
Supaya
dapat menyadari kehadiran Roh Allah yang mampu menggerakkan hatinya, katekis
dapat meneladan sosok nabi Yeremia. Maka katekis hendaknya memiliki
keyakinan dan kepercayaan seperti nabi Yeremia, bahwa akan selalu ada jaminan
penyertaan Allah. Dengan keyakinan itu maka katekis dapat melaksanakan
panggilan dan tugas perutusanya dengan penuh kesadaran yang tinggi. Katekis
hendaknya penuh keterbukaan hati menyadari bahwa dalam melaksanakan tugas ia
tidak sendiri, namun ada kuasa Roh Allah yang senantiasa menyertai dan hadir
untuk menggerakkan hatinya.
Yeremia
juga manusia biasa yang memiliki perasaan pada umumnya. Yeremia sempat
menyatakan tidak sanggup ketika Allah memberi tahu mengenai tugasnya sebagai
nabi bagi bangsanya. Namun dengan berpasrah diri kepada Allah akhirnya Yeremia
menerima tugasnya tersebut. Selama nabi Yeremia mengemban tugasnya, ia harus
bergumul dengan sikap acuh tak acuh, penolakan, ejekan dan bahkan tindak
kekerasan fisik dari bangsanya sendiri. Meskipun demikian Yeremia tetap
berusaha melayani bangsanya yang mayoritas tidak mau menerimanya dan tidak mau
mengenal Allah. Berkat senantiasa hidup mengedepankan Allah maka nabi Yeremia
dapat hidup dengan berpusat dan mengandalkan kekuatan dari Allah.
Dinamika
pelayanan katekis sebagai pewarta juga akan selalu menemui suatu tantangan yang
tidak pernah dapat dipisahkan darinya seperti yang dialami Yeremia. Bahkan
terkadang katekis dapat mengalami jatuh atau gagal dalam menjalankan karya
pelayanan serta dalam berelasi baik dengan Allah dan sekitarnya. Tetapi katekis
dapat melihat semua tantangan yang dihadapinya itu sebagai bagian dalam
proses pembelajaran dan pematangan diri. Katekis akan menemukan solusi apabila
ia selalu hidup dengan mengedepankan kehendak Allah serta berpasrah diri
kepada-Nya yang menjadi sumber kekuatan dan keselamatan.
Yeremia
sendiri juga harus menghadapi berbagai godaan yang dapat melemahkan kehidupan
imannya. Namun Yeremia senantiasa ingat bahwa Allah berjanji menyertai dan
melindungi dia dari tantangan yang ada. Bahkan segala macam
kesalah pahaman, penganiayaan, kesepian, dan pergumulan batin yang dialami
Yeremia justru menjadi andalan untuk semakin menguatkan kehidupan imannya
kepada Allah. Maka menjadi seorang katekis perlu berusaha untuk hidup dalam
iman seperti nabi Yeremia. Dengan hidup dalam iman katekis dapat memperoleh
peneguhan dan dapat berefleksi mengenai kehidupan yang mampu menguatkan dirinya
untuk berpegang kepada Allah.
Yeremia
merupakan nabi yang senantiasa mengalami kesulitan dan tantangan besar dalam
melaksanakan pelayanannya. Namun semua dapat diatasi nabi Yeremia berkat hidup
dengan mengedepankan kehendak Allah. Usaha nabi Yeremia untuk senantiasa
mengedepankan kehendak Allah ialah dengan hidup dalam doa atau penyerahan diri
kepada Allah. Yeremia merupakan seorang nabi yang sangat tekun dalam doa dan
penyerahan diri secara total kepada Allah. Doa dan penyerahan diri secara total
kepada Allah telah menjadi bagian integral dari hidup dan pengalaman
sehari-hari nabi Yeremia. Yeremia 12: 1-11; 14: 7-11; 15: 15-18; 17: 13-18 dan
20: 7-9 merupakan bagian yang mengungkapkan segala doa dan keluh kesahnya
yang penuh pergumulan dan penyerahan diri kepada Allah.
Sama
halnya dengan nabi Yeremia, maka katekis sebagai pelayan Allah hendaknya
senantiasa hidup mengandalkan Allah dengan doa atau penyerahan diri secara
total. Dewasa ini secara khusus katekis dapat berserah diri kepada Allah
melalui doa-doa devosi. Sebab doa atau devosi merupakan bagian terpenting dari
persekutuan dengan Allah. Melalui doa atau devosi katekis dapat semakin
terlatih untuk semakin berserah diri kepada Allah. Dengan demikian katekis dapat
semakin diteguhkan untuk melaksanakan karya pelayanannya seperti nabi Yeremia.
Melalui doa atau devosi Allah akan hadir menjadi sumber kekuatan yang dapat
menopang katekis ketika berada dalam kesesakan hidup ketika melayani.
4.2.
Pengalaman
Kenabian Katekis dalam Menjalani PPL Stasi
Hidup
dengan mengedepankan kehendak Allah dibutuhkan kepekaan yang luar biasa
terhadap Sabda Allah sendiri. Sejak awal panggilan Yeremia menjadi seorang
nabi, ia juga telah mengalami pergulatan dengan Sabda Allah. Bahkan dipahami
bahwa karya pewartaan yang dilaksanakan oleh Yeremia didorong oleh kekutan
Sabda Allah itu sendiri (Yer 15:6). Sabda Allah menjadi suatu suka cita
tersendiri bagi hidup nabi Yeremia. Kuasa Sabda Allah begitu kuat dan hebat
sehingga Yeremia dapat merasakan kebahagiaan dengan menghidupi-Nya dalam
dirinya sendiri.
Menjadi
seorang pewarta merupakan tugas berat yang harus diemban oleh katekis. Secara
teori, tugas seorang katekis dalam mewartakan Sabda Allah seolah dapat dengan
mudah untuk dilaksanakan. Namun dalam kenyataannya tugas menjadi katekis yang
mewartakan merupakan suatu hal yang sulit untuk dijalankan. Bukan berarti
katekis sendiri dengan mudah menjadi pelaksana Sabda Allah yang baik dan tekun
serta setia.
Seorang
katekis melaksanakan tugas dan karya pewartaannya hendaknya karena yakin bahwa
Sabda Allah merupakan hal yang bernilai penting serta harus diperjuangkan.
Setiap ucapan yang keluar dari mulut katekis hendaknya merupakan cerminan dari
Sabda Allah yang diresapinya. Dengan demikian, hidup baik yang sesuai dengan
yang disabdakan Allah hendaknya terlebih dahulu ditanamkan dan dilaksanakan
oleh katekis sebelum dia menerapkannya kepada orang lain. Berat tidaknya hidup
menurut yang disabdakan Allah pada dasarnya dapat dikatakan tergantung dari
cara pandang katekis sendiri.
Keutuhan
dan keaslian hidup nabi Yeremia begitu nampak dalam perjuangannya untuk
mengabdikan diri dan melayani Allah. Nabi Yeremia sungguh-sungguh hidup dalam
Allah sehingga semua yang dilakukannya bukanlah kepalsuan, kemunafikan dan
kepura-puraan. Yeremia sungguh-sungguh berjuang untuk mempersembahkan diri baik
untuk Allah maupun bangsa Israel yang berdosa agar kembali kepada Allah. Nabi
Yeremia telah menunjukan keutuhan dan keaslian hidup dengan sikap sebagai abdi
Allah yang agung.
Belajar
dari nabi Yeremia yang memiliki keutuhan dan keaslian hidup, maka katekis pun
harus sama halnya dengan Yeremia. Karya katekis dewasa ini sangat memerlukan
keutuhan dan keaslian hidup yang mengalir dari pribadinya sebagai seorang
pewarta Allah. Dunia dewasa ini membutuhkan pewarta yang berbicara mengenai
Allah yang mereka kenal dan akrab dengan hidupnya. Sehingga dengan demikian
seakan katekis telah melihat Allah yang tidak kelihatan secara indera manusia.
Hidup
katekis yang utuh dan asli mengharapkan adanya kesaksian mengenai Allah yang
menghidupinya. Dengan hidup utuh dan asli juga dapat memampukan katekis untuk
menghayati nilai-nilai kebenaran yang difirmankan Allah. Dengan mengusahakan
untuk hidup untuh dan asli maka katekis dapat mencapai tujuan seperti yang
diharapkan dalam melayani. Dengan hidup utuh dan asli katekis juga dapat
semakin melayani umat dengan penuh semangat luhur akan Allah dan sesama. Maka
dengan demikian katekis dapat melaksanakan pelayanannya dengan penuh ketulusan
dan kerendahan hati.
Cara
hidup nabi Yeremia dalam memperjuangkan pelayanannya didasari karena rasa
cintanya yang mendalam kepada Allah dan bangsa Israel yang berdosa terhadap
Allah. Selain itu Yeremia sendiri merupakan seorang nabi yang memiliki
pemahaman yang luar biasa mengenai nubuat-nubuat Allah yang disampaikan kepada
bangsanya. Namun Yeremia lebih menunjukan teladan bahwa dalam mewartakan dan
melayani bukan sekedar berkata-kata atau bernubuat belaka. Tetapi nabi Yeremia
justru menunjukan sikap hidup seorang pelayan yang sebenarnya.
Teladan
hidup Yeremia yang berjuang untuk melayani Allah dan bangsanya dengan penuh
cinta merupakan nubuat yang benar serta perlu dicontoh oleh katekis. Katekis
hendaknya senantiasa memperjuangkan pelayanannya dengan didasari cinta yang
mendalam bagi Gereja dan masyarakat di tengah kehidupan dunia dewasa ini.
Meskipun harus berhadapan dengan situasi sulit, katekis perlu berupaya
membangun semangat untuk melayani Gereja dan masyarakat dewasa ini dengan penuh
cinta bagi semua umat manusia. Pelayanan katekis yang penuh cinta ini bertujuan
demi terealisasinya karya keselamatan Allah. Pelayanan katekis yang penuh cinta
sangat dibutuhkan dalam situasi dunia dewasa ini.
BAB V
PENUTUP
5.1.
Kesimpulan
Dunia
dewasa ini sungguh telah berubah. Perubahan tersebut meliputi seluruh dimensi
hidup manusia. Perubahan yang terjadi dapat menjauhkan umat manusia dari Allah.
Bertitik tolak dari situasi tersebut, kehadiran katekis diharapkan dapat
menjadi pewarta Firman Allah. Katekis diharapkan dapat berdinamika dan berkarya
di tengah-tengah situasi zaman yang senantiasa berubah. Mengemban tugas menjadi
seorang katekis bukan sesuatu yang mudah untuk dilaksanakan.
Keutamaan
hidup katekis harus sungguh dikedepankan serta diperhatikan. Keutamaan hidup
katekis dapat menguatkan dirinya dalam menghadapi tantangan ketika melaksanakan
pelayanannya. Menjadi katekis harus mampu untuk menghadirkan Allah dalam
hidupnya. Kehadiran Allah hendaknya menjadi sumber kekuatan bagi katekis dalam
menghadapi tantangannya. Kehadiran Allah juga memberikan semangat baru untuk
melayani dalam berbagai situasi. Katekis perlu menyadari bahwa Firman Allah
harus dihidupi. Dengan demikian menjadi katekis harus mampu melepaskan egoisme
dan senantiasa hidup mengedepankan Allah.
Dari
paparan yang telah diulas terkait semangat kenabian Yeremia bagi katekis dewasa
ini, terlihat bahwa ada beberapa hal penting yang dapat diteladani oleh katekis
dari sosok nabi Yeremia. Hal terpenting yang dapat diteladani oleh katekis dari
sosok nabi Yeremia yakni terkait semangat kenabiannya dalam melayani Allah dan
umat-Nya. Semangat kenabian Yeremia tidak pernah lepas dari rasa percayanya
dengan penuh keteguhan hati akan Allah. Rasa percayanya kepada Allah ini mampu
memberikan kekuatan dalam hidupnya ketika harus menjalankan tugas yang
diembannya. Sehingga pada akhirnya nabi Yeremia dapat melayani umat-Nya dengan
penuh kasih.
Katekis
memiliki tugas dan peranan penting yang dipercayakan Allah kepadanya dalam
situasi dunia saat ini. Sama seperti nabi Yeremia, katekis juga memiliki tugas
untuk melayani dan mewartakan Firman Allah. Tantangan yang dihadapi oleh nabi
Yeremia dan katekis ini memang berbeda. Namun secara hakiki perutusan memiliki
kesamaan dan perlu sikap yang senada. Solusi dalam menghadapi tantangan
tersebut adalah tetap bertumpu dan berpusat kepada Allah Sang Sumber
kehidupan. Hanya dengan kuasa Allah dan penyertaan-Nya yang dapat memberi jalan
keluar terbaik dalam menghadapi tantangan yang ada.
Nabi
Yeremia dan katekis memiliki tugas yang sama yaitu mewartakan Firman Allah.
Namun yang membuat sedikit berbeda yakni terletak pada situasi zamannya. Maka
ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan oleh katekis terkait dengan
dunia dewasa ini. Hal pertama ialah mengenai tantangan yang harus dihadapi oleh
katekis dalam melaksanakan tugas pewartaannya. Memang dunia dewasa ini
terlihat jelas dengan perubahan zaman yang semakin maju. Maka dalam situasi ini
sosok dan peran seorang katekis amat sangat dibutuhkan dan diharapkan. Dalam
hal ini katekis harus tanggap dengan kondisi lingkungannya dan mampu memberikan
solusi atas masalah yang dihadapi.
Hal
terpenting yang kedua adalah terkait dengan spritualitas hidup seorang katekis.
Seorang katekis harus senantiasa bertekun dalam doa dan hidup rohani agar Allah
dapat benar-benar hadir di dalam dirinya. Selain itu seorang katekis hendaknya
selalu membaca dan mendalami Sabda Allah. Dengan dihidupi semangat Roh
Allah dalam diri seorang katekis seperti yang dilakukan oleh nabi Yeremia, maka
akan menguatkannya untuk melaksanakan karya pelayanannya di tengah dunia dewasa
ini.
5.2.
Refleksi
dan Pergulatanku Mengenai Relevansi Kenabian Yeremia dalam Menjalankan Tugas
Menjadi Seorang Calon Katekis
Begitu
banyak suka duka yang penulis alami dalam menjalani kehidupan yang sekarang
ini, yakni menjadi seorang katekis. Sekalipun saat ini penulis masih berstatus
sebagai “calon katekis” atau sering disebut sebagai “cakis”, namun nama atau
gelar itu benar-benar tertancap dalam benak penulis dan di mata semua umat
beriman yang mengetahui keberadaan katekis dalam lingkup gereja. sekalipun
masih dalam masa “belajar” menjadi katekis, namun di mata umat, penulis adalah
seorang katekis dan bukan lagi seorang calon katekis yang masih butuh belajar.
Kebanyakan umat menganggap bahwa penulis dan calon katekis yang lain sudah
mahir untuk melakukan segala hal yang sudah seharusnya dikerjakan para katekis
yang sudah mahir di bidangnya. Hal ini cukup membuat penulis sedikit merasa
terpaksa harus menguras otak dan energi yang lebih untuk bisa memuaskan
keinginan umat dari para katekis, terutama penulis.
Terkadang
penulis berfikir, bagaimana mungkin penulis yang notabene adalah calon katekis,
harus mahir dan bisa melakukan segala hal yang semestinya dilakukan oleh
katekis padahal penulis sendiri masih belajar? Bagaimana mungkin umat berharap
dapat belajar dari penulis, sedangkan penulis sendiri juga masih belajar?
Bagaimana mungkin anak-anak yang penulis ajar di sekolah menganggap bahwa penulis
adalah seorang guru sungguhan, sedangkan penulis sendiri masih “belajar
mengajar”? Pertanyaan-pertanyaan itu masih terus muncul dalam diri penulis
sampai saat ini.
Sebagai
seorang manusia biasa, terlebih seorang perempuan yang sedang dalam masa
pertumbuhan entah dalam segi fisik maupun psikis, penulis juga memiliki
keinginan dan masa-masa yang sama halnya dirasakan dan dialami oleh
perempuan-perempuan di usia yang sama seperti penulis pada umumnya. Suka
berdandan, menarik perhatian lawan jenis, bermanja-manja dengan pasangan
(pacar), suka belanja barang-barang yang terkadang kurang penting, dan malas ke
gereja karena godaan-godaan tertentu. Semuanya juga penulis alami sebagaimana
manusia lain pada umumnya. Namun, terkadang penulis terpaksa menahan semuanya
itu untuk menjaga nama baik penulis, nama baik lembaga, dan nama baik katekis
di mata umat ketika penulis berada di luar. Sekalipun penulis harus berbuat
demikian dan berusaha untuk menjadi orang yang baik di mata umat, namun seolah-olah
penulis harus memakai topeng di depan mereka semua. Contoh kecilnya saja,
ketika hari besar Gereja, seperti Natal dan Paskah yang sudah menjadi kebiasaan
penulis untuk berdandan dan memakai baju serta aksesoris yang lebih dari
biasanya, namun penulis terpaksa berubah menjadi sederhana untuk tidak
menimbulkan kesan “katekis glamour.”
Menjalani
kehidupan sebagai seorang calon katekis agar menjadi katekis yang sesungguhnya
tidak pernah lepas dari rasa tidak diterima, diacuhkan dan terbuang. Saat
menjalani PPL Paroki dan berkunjung ke rumah umat, penolakan demi penolakan
terkadang penulis alami ketika hendak mengunjungi rumah umat di lingkungan.
Rasa tidak dianggap karena terlihat seperti anak kecil juga penulis rasakan.
Rasa diremehkan, dipandang kecil, tidak bisa apa-apa, bahkan rasa diperalat pun
juga penulis rasakan ketika menjalani masa PPL Paroki. Begitu juga dengan PPL
Stasi. Seperti di awal penulis katakan bahwa di stasi yang notabene masyarakat
pedesaan, penulis harus tampil serba sederhana dan serba apa adanya. Memang itu
menjadi pelajaran bagi penulis untuk bisa hidup sederhana, namun dibalik itu
semua penulis juga merasakan bahwa penulis harus menutup-nutupi siapa penulis
yang sebenarnya di mata umat stasi. Penulis yang manja, harus bersikap dewasa
dan mandiri di mata umat. Penulis yang terkesan tipe orang yang cerewet, harus
mengurangi kecerewetan penulis di mata umat. Dan yang lebih membuat penulis
merasa tidak suka adalah PPL Paroki atau Stasi seolah-olah dijadikan ajang
untuk berlomba mendapatkan hati umat, sehingga segala sesuatu yang dilakukan
hanya berstatus “cari muka”.
Namun,
dibalik rasa duka dan ketidaksenangan penulis saat menjalani kehidupan sebagai
seorang calon katekis, pastilah penulis juga mengalami rasa senang, bahagia,
haru dan semacamnya. Kehadiran seorang calon katekis yang selalu diharapkan dan
ditunggu oleh sebagian umat di Paroki maupun Stasi membuat penulis termotivasi
untuk selalu dekat dengan mereka (umat). Sekalipun masih calon katekis yang
sebenarnya masih belajar, kehadiran penulis di Paroki maupun Stasi membuat penulis
merasa diterima oleh umat karena mereka begitu welcome kepada penulis dalam setiap kegiatan. Selain itu, ketika
ada umat yang bercerita tentang kehidupan pribadinya kepada penulis, penulis
merasa terharu. Karena, bagi penulis pribadi, penulis masih seorang anak yang
berusia 19/20 tahun yang masih sangat minim dalam hal pengalaman hidup. Namun
dengan begitu percayanya mereka mau menceritakan kehidupan mereka kepada penulis.
Terkadang
justru penulis merasa tidak pantas, karena penulis masih anak kecil dan tidak
tahu harus bicara apa ketika mereka bercerita kepada penulis. Namun, penulis
sadar bahwa tidak semua dari mereka ingin dijawab. Terkadang mereka hanya membutuhkan
orang untuk mendengarkan keluhan mereka. Hanya dengan demikian saja mereka
merasa lega. Begitu banyak yang bisa penulis dapatkan dan penulis pelajari saat
menjalankan PPL Paroki maupun Stasi. Rasa dipercaya umat menjadikan motivasi
tersendiri bagi penulis untuk menjadi lebih baik dari diri penulis yang
sebelumnya.
Begitu
banyak hal yang penulis dapatkan saat penulis menjalani kehidupan penulis
sebagai seorang calon katekis. Suka duka, canda tawa, tangis, haru, bahagia dan
sebagainya penulis rasakan dan penulis alami dengan berbagai macam emosi. Namun
segala duka tidak membuat langkah penulis terhenti untk menjadi seorang
katekis. Justru dengan adanya rasa suka dalam segala dinamika yang penulis
alami, itu membuat penulis semakin penasaran akan apa yang akan penulis alami
selanjutnya dan itu semakin membuat penulis tertantang.
Sekalipun
penulis seorang calon katekis, namun tidak menutup kemungkinan bahwa penulis
juga sering mengalami putus asa. Dalam kondisi tidak diterima oleh umat,
keadaan capek fisik maupun psikis, tugas kuliah yang menumpuk ditambah lagi
dengan masih berjalannya masa PPL, nilai yang tidak sesuai target, sampai
dengan kondisi ekonomi keluarga yang terkadang tidak mendukung. Semuanya itu
membuat penulis sering merasa putus asa. Merasa lelah/capek dalam hal fisik
dapat penulis atasi dengan mudah, sekalipun tidak sembuh dengan secepatnya.
Namun, penulis merasa akan lebih mudah putus asa jika rasa capek yang penulis
alami adalah berkaitan dengan psikis.
Kebanyakan
orang yang mengenal penulis, mereka menganggap bahwa penulis adalah seorang
anak yang tegar dan kuat. Hal ini dikarenakan penulis selalu saja tersenyum di
depan mereka sekalipun penulis ada masalah. Penulis hanya akan menangis di
depan mereka jika penulis memang benar-benar tidak kuat dan masalah yang penulis
hadapi benar-benar berat.
Menjadi
seorang calon katekis terkadang memiliki beban dan tanggung jawab tersendiri
yang harus penulis pikul dengan sekuat tenaga. Seperti yang penulis katakan di
awal, bahwa penulis adalah seorang anak yang juga mengalami dan merasakan
masa-masa sebagaimana yang dialami anak-anak seusia penulis. Menikmati semuanya
itu pasti membuat penulis merasa bahagia dan merdeka. Bebas melakukan segala
yang penulis mau, dan bebas untuk menjadi diri penulis sendiri tanpa harus
menjaga diri/image di depan
orang-orang tertentu. Namun, dengan kesadaran penuh bahwa penulis adalah
seorang calon katekis yang amu tidak mau menjadi contoh maupun teladan bagi
sebagian orang, penulis rela untuk mengesampingkan segala kegembiraan penulis
demi untuk Allah.
Di
akhir pekan (Sabtu-Minggu) adalah hari di mana semua orang merasa bebas dan
libur serta refreshing dari segala
kegiatan dan rutinitas yang dilakukan selama sepekan penuh. Apalagi bagi anak
muda seusia penulis, hari Sabtu Minggu adalah hari merdeka dimana kami bisa
berjalan-jalan, berkumpul bersama dan melakukan segala yang kami mau untuk
menunjukkan bahwa kami berjiwa muda. Namun, semuanya itu penulis tinggalkan
untuk melakukan praktek PPL di Paroki maupun Stasi. Rasa berat hati,
keterpaksaan dan keluhan memang penulis alami ketika awal penulis melakukan hal
ini. Namun, lama-kelamaan justru menjadi kerinduan tersendiri bagi penulis
untuk berjumpa dengan umat Allah di Paroki maupun di Stasi.
Terkadang
penulis berfikir bahwa Allah memang sudah mengatur segala sesuatunya sedemikian
rupa sehingga penulis menjadi seperti sekarang ini. Sehingga dengan pikiran penulis
seperti itu, penulis menjadi semakin merasa berarti di mata Allah, karena secara
tidak langsung penulis merasa bahwa Allah sudah memilih penulis untuk menjadi
tangan dan lidah-Nya untuk melakukan pekerjaan-Nya.
Dengan
segala dinamika yang penulis alami saat penulis menjalankan kehidupan penulis
sebagai seorang calon katekis, itu membuat penulis merasa begitu berarti di
mata Allah. Hingga sampai saat ini pun penulis masih merasa bahwa Allah memang
telah memilih penulis untuk menjadi tangan dan lidah-Nya untuk mewartakan
kerajaan-Nya. Sebuah tanggung jawab yang berat yang harus penulis lakukan
karena menjadi pekerja di ladang Tuhan tidaklah mudah. Namun segalanya menjadi
ringan ketika penulis kembali mengingat bahwa Allah telah memilih penulis.
Selain
ingatan dan kesadaran penulis bahwa Allah telah memilih penulis yang membantu
membuat segala pekerjan penulis menjadi ringan, lagu “Bagaikan Bejana” juga
sangat membantu penulis untuk menyadari bahwa penulis adalah alat Tuhan. Dengan
lagu tersebut penulis terbantu untuk memohon pada Allah agar Dia benar-benar
menggunakan penulis sebagai alat-Nya. Melalui lirik-lirik lagu tersebut penulis
memohon kepada Allah untuk menggunakan diri dan hidup penulis seturut dengan
kehendak-Nya.
Segala
sesuatu yang menjadi pilihan kita pastilah memiliki konsekuensi tersediri.
Begitu juga dengan penulis yang memilih katekis sebagai jalan hidup penulis.
Segala resiko dan konsekuensinya sudah penulis pikirkan sebelum penulis
memutuskan untuk kuliah di lembaga ini. Jangankan untuk konsekuensi saat
menjalani perkuliahan di kampus ini. Ketika penulis mengambil keputusan untuk
memilih kuliah sebagai seorang katekis saja, sudah menimbulkan konsekuensi
tersendiri bagi penulis. Pihak keluarga yang kurang setuju dengan pilihan penulis,
dan belum lagi sedikit sindiran dari teman-teman SMA penulis yang mengatakan
bahwa sayang sekali jika penulis harus memilih melanjutkan kuliah sebagai
seorang katekis, mengingat nilai-nilai penulis yang lumayan bagus. Dengan awal
yang sudah menimbulkan konsekuensi, maka penulis sudah bisa menebak bahwa untuk
selanjutnya konsekuensi yang penulis hadapi akan jauh lebih berat daripada
konsekuensi yang penulis dapatkan ketika awal penulis memutuskan untuk
berkuliah sebagai seorang katekis atau guru agama.
Dan
sampai dengan saat ini, penulis dengan penuh kesadaran mau menerima segala
konsekuensi yang harus penulis hadapi. Penulis mau dan siap menjalani segala
konsekuensi yang harus penulis jalani dan penulis hadapi. Sekalipun terkadang penulis
mengeluh dan merasa putus asa di saat-saat tertentu, namun penulis tidak pernah
lelah untuk selalu meminta kepada Tuhan agar selalu menguatkan penulis untuk
menghadapi segala konsekuensi penulis dengan penuh tanggung jawab. Memang tidak
mudah untuk menghadapai konsekuensi tersebut, tetapi ini sudah menjadi pilihan penulis.
Apa yang menjadi pilihan penulis, penulis harus berani menghadapinya dengan
segala resikonya karena itu sudah menjadi tanggung jawab penulis yang sudah
berani untuk menentukan pilihan atas diri penulis sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Darmawijaya, St. 1990. Warta Nabi abad VIII. Yogyakarta: Kanisius.
Darmawijaya, St. 1992. Iman Leluhur “Jiwa & Semangat Perjanjian
Lama 1”. Yogyakarta: Kanisius.
Darmawijaya, St. 1992. Warisan Para Nabi. Yogyakarta: Kanisius.
Darmawijaya, St. 2009. Seluk Beluk Kitab Suci. Yogyakarta:
Kanisius.
Darmawijaya, St.. Tindak Kenabian: Kisah Perbuatan Aneh para
Nabi. Yogyakarta: Kanisius.
Groenen, C.
1992. Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama.
Yogyakarta: Kanisius.
Komisi Kateketik
Keuskupan Padang. 1988, Spiritualitas
Seorang Katekis, Padang: Komisi Kateketik Keuskupan Padang.
KOMKAT KWI. 1997. Pedoman untuk Katekis. Yogyakarta:
Kanisius.
KWI, 1995, Katekismus Gereja Katolik, Ende:
Arnoldus.
Lembaga
Alkitab Indonesia. 2012, Alkitab
Deuterokanonika, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
Moloney, F.J. & I.
Suharyo. 1988. Menjadi Murid dan Nabi
“Model Hidup Religius Menurut Kitab Suci”. Yogyakarta: Kanisius.
Prasetya, L. 1999. Menjadi Katekis Siapa Takut. Yogyakarta:
Kanisius.
Supriyadi, Agustinus.
2011. Kitab-kitab Para Nabi. Madiun:
Karya tidak diterbitkan.


0 comments:
Post a Comment