RSS

Tugas dan Fungsi Nabi dalam Refleksi Kritis Panggilan Seorang Calon Katekis


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang Masalah
Berbagai macam pengertian bisa muncul dalam angan-angan kita bila di zaman ini berbicara mengenai nabi. Bayangan itu diantaranya: nabi adalah seorang tokoh yang bisa menyuarakan pembaharuan hidup bersama. Seorang tokoh masyarakat yang berani disebut nabi. Tokoh seperti Mahatma Gandhi, kerap disebut sebagai nabi zaman kita. Pembela rakyat kecil seperti ibu Teresa, bdapat pula dikatakan sebagai nabi. Pelopor dalam dunia seni bisa juga digelari nabi. W.S. Rendra disebut nabi seni sastra Indonesia zaman ini.
Dalam kehidupan beragama, pengertian nabi pun seringkali kabur. Tokoh-tokoh seperti Abraham, Musa, Daud, Salomo, Yesus/Isa Almasih, Muhammad, dalam pengertian biasa juga disebut nabi. Tokoh yang mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam kehidupan beragama, dengan mudah mendapatkan gelar nabi.
Suara kenabian yang terkenal sebagai zaman ramai – perhatikan misalnya HP atau alat komunikasi yang lain – yang membuat manusia bisa kehilangan kepekaan pendengarannya, juga mengenai hal-hal yang amat pelik. Suara nabi yang memproklamasikan suara hati nurani yang jujur, tulus, berani, berkumandang.
Melihat pernyataan di atas, penulis merasa tertarik untuk menulis sebuah karya tulis dengan judul: “TUGAS DAN FUNGSI NABI DALAM REFLEKSI KRITIS PANGGILAN SEORANG CALON KATEKIS”.
Penulis berharap, agar para calon katekis dapat semakin terpanggil untuk melaksanakan tugas perutusannya sebagai seorang pewarta dengan meneladani semangat pewartaan para nabi yang senantiasa berjuang untuk mewartakan Kerajaan Allah di tengah umat.

1.2.            Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, penulis dapat merumuskan beberapa permasalahan yang hendak dikaji dalam karya tulis ini yakni sebagai berikut:
1.2.1.      Siapa itu para nabi?
1.2.2.      Siapa yang disebut dengan katekis?
1.2.3.      Bagaimana tugas dan fungsi nabi dalam refleksi kritis calon katekis? 

1.3.            Tujuan Penulisan
Adapun beberapa tujuan dibuatnya karya tulis ini ialah:
1.3.1.      Menjelaskan mengenai pengertian nabi.
1.3.2.      Menjelaskan mengenai pengertian katekis.
1.3.3.      Memaparkan tugas dan fungsi nabi dalam refleksi kritis calon katekis.


BAB II
KENABIAN

2.1.            Pengertian Nabi
Nabi pada umumnya diartikan sebagai seseorang yang berbicara atas nama Tuhan dan menyampaikan apa yang menjadi pesan Tuhan kepada manusia; entah pesan itu yang sudah lampau, saat itu atau masa yang akan datang. Maka umumnya nabi adalah seseorang yang diterangi/dikaruniai Tuhan untuk memberikan nubuat, berkhotbah menyampaikan pesan, petunjuk, perintah Tuhan dan kehendak-Nya kepada umat-Nya (lih. 1Kor 14:37, 1Raj 22:7). Selain menyampaikan nubuat, para nabi juga menegur umat Tuhan jika mereka menyimpang dari kehendak Tuhan. Katekismus Gereja Katolik (KGK) juga mengatakan hal yang serupa mengenai para nabi (bdk. KGK 64, 201, 522, 726, 2581 dan 2595).
Nabi disebut juga sebagai jembatan perantara, penyambung lidah, serta tangan kanan Allah untuk menyampaikan pesan Allah. Nabi adalah dia yang berbicara atas nama dan demi Allah. Dia adalah antena Tuhan dengan kekuatan kata-kata yang mempesona. (bdk, Supriyadi, 2011:1).

2.2.            Ajaran para Nabi
Para nabi berperan penting bagi perkembangan agama bangsa Israel. Mereka bukan hanya mempertahankan  dan membimbing bangsanya dalam kepercayaan murni kepada yahwe, Allahnya. Mereka juga memegang peranan utama dalam pengembangan pernyataan Ilahi. Dalam peranan ini, masing-masing nabi mengambil bagiannya sendiri dan masing-masing turut pula memberi sumbangan bagi ajaran keagamaan. Sumbangan mereka saling bertemu dan bergabung menurut tiga (3) tema pokok yaitu: monoteisme, ajaran kesusilaan dan penantian akan keselamatan.
a.      Monoteisme. Secara falsafiah, monoteisme dapat dirumuskan: hanya mengakui adanya satu Allah dan tidak ada allah-allah lain. Allah itu adalah Allah yang transenden yang mengatasi dan melampaui segala ciptaan. Transendensi Allah terutama diungkapkan oleh para nabi dengan berkata bahwa, Allah adalah “kudus”.
b.      Ajaran Kesusilaan. Ajaran kesusilaan merupakan ajaran mengenai moral dan kehidupan. Ajaran yang baik mengenai sopan santun, etika, moral dan tata hidup bersama.
c.       Penantian akan Keselamatan. Kesejahteraan sejati hanya menyertai Allah yang berkuasa sebagai Raja dan mengandaikan suatu suasana spiritual yaitu: keadilan dan kesucian, pertobatan batiniah dan pengampunan ilahi.
2.3.            Fungsi dan Tugas Nabi
Para nabi disebut sebagai “suara hati umat Allah”. Para nabi diutus Tuhan untuk mempertahankan dan memperteguh umat Allah dalam kepercayaan sejati kepada Tuhan yang mengikat perjanjian-Nya dengan umat pilihan-Nya. Para nabi bukanlah pendiri agam baru, tetapi pembaharu dan penyemangat iman kepercayaan yang lama. Mereka bertugas mempertahankan dan memperhalus iman kepercayaan sejati, maka ada kesamaan dasariah antara semua nabi.


BAB III
KATEKIS

3.1.            Pengertian Katekis
Katekis berasal dari kata katechein yang berarti mengomunikasikan, membagikan informasi atau mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan iman (bdk. Bagiwowinadi, 2012: 14). Dengan demikian tugas katekis sudah nyata bahwa ia membagikan informasi kepada umat. Informasi yang diberikan kepada umat berkaitan dengan iman dan inilah yang disebut dengan mengomunikasikan Firman Allah.
Ensiklik Redemptoris Missio menggambarkan para katekis sebagai pekerja-pekerja khusus, saksi-saksi langsung para pewarta yang sangat dibutuhkan yang mewakili kekuatan utama komunitas-komunitas Kristiani khususnya dalam Gereja muda. Katekis merupakan rekan kerja para hirarki dalam pelayanan yang berguna untuk membangun Gereja. Akan tetapi katekis bukan hanya sebagai pelengkap dan penyerta saja. Ia dengan fungsinya yang khas pula (yakni bertugas di tengah tata dunia) menjadi teman seperjuangan yang patut diperhatikan nasihat dan tindakannya sejauh demi kepentingan Gereja (Redi, dalam: http://robertusredi.blogspot.com, diakses tanggal 7 Oktober 2015).

3.2.            Tugas dan Fungsi Katekis
Menjadi sorang katekis tentu memiliki tugas-tugas tertentu, diantaranya adalah:
a.       Katekis dengan tugas khusus untuk mengajarkan katekese dan melayani umat.
b.      Katekis yang bekerja sama dalam berbagai bentuk kerasulan dengan para petugas Gereja yang telah ditahbiskan.
c.       Mau dan mampu mengusahakan dan menggunakan media komunikasi yang sesuai dan memadai.

3.3.            Syarat Menjadi Katekis
Menjadi katekis memiliki syarat atau kriteria yang mendukung keberlangsungan karya pewartaan. Maka menurut Prasetya (2007: 41) syarat atau kriteria yang diperlukan antara lain:
a.       Memiliki hidup rohani yang mendalam (doa, membaca Kitab Suci, devosi)
b.      Memiliki nama baik sebagai pribadi dan keluarga (dalam hidup iman dan moral)
c.       Diterima oleh umat (dapat diterima oleh umat di mana ia tinggal)
d.      Mempunyai pengetahuan yang memadai (Kitab Suci, moral, teologi, liturgi, dll)
e.       Mempunyai ketrampilan yang cukup (yang diperlukan dalam proses pewartaannya)


BAB IV
TUGAS DAN FUNGSI NABI DALAM REFLEKSI KRITIS
SEORANG CALON KATEKIS

Sebagai seorang calon katekis, hendaknya dapat meneladani nabi yang senantiasa bertahan dan tetap  semangat dalam karya pewartaannya untuk menumbuhkembangkan iman umat akan Allah. Katekis baik di sekolah maupun di masyarakat perlu senantiasa berjuang untuk selalu mewartakan. Dengan demikian dapat menjadi katekis yang berkualitas, katekis yang terbuka terhadap kasih Allah, katekis yang setia pada Allah dan tetap percaya pada penyertaan Allah serta menjadi katekis yang mau belajar dan meneladani semangat para nabi terdahulu dalam mewartakan Sabda Allah.
Melihat perubahan zaman yang semakin modern dan berpengaruh besar bagi kehidupan umat sehingga banyak umat yang semakin jauh dari Allah, maka sudah selayaknya katekis dapat semakin semangat dalam karya pewartannya, apa lagi jika melihat Kasih Allah yang begitu besar bagi umat-Nya. Menjadi tugas katekis meyakinkan umat, bahwa Allah sangat mengasihi mereka sekalipun umat tidak setia pada-Nya. Allah sendiri berfirman “Dalam murka yang meluap Aku telah menyembunyikan wajah-Ku terhadap engkau sesaat lamanya, tetapi dalam kasih setia abadi Aku telah mengasihi engkau, firman Tuhan, penebusmu” (bdk. Yes, 54:8).
Namun kenyataannya katekis dewasa ini kurang melatih diri agar hidup penuh semangat dan terbuka pada kasih Allah. Maka dari itu selain meneladani semangat para nabi, katekis juga perlu menyadari bahwa semuanya itu tidak terlepas dari kasih Allah. Karena kasih-Nya yang besar, Allah senantiasa menyertai perjalanan hidup umat-Nya sampai akhir zaman. Maka dari itu katekis diharapkan senantiasa terbuka kepada kehendak Allah. Harus nampak keluar bahwa bukan kehendak dirinya tetapi kehendak Allah yang telah mengutusnya atau kehendak Bapa seperti dikatakan Yesus: “apa yang Kukatakan bukan dari diri-Ku sendiri tetapi dari Dia yang mengutus Aku” (bdk. Komkat KWI, 2005: 71).
Dalam pewartaan seorang nabi tidak hanya berbicara dengan kata-kata saja, tetapi dia juga menggunakan tanda dan simbol dalam menyampaikan Firman Allah pada umat-Nya. Seorang nabi juga tidak pernah berbicara atas namanya sendiri, ia selalu berbicara atas nama Tuhan. Firman yang disampaikannya adalah Firman Tuhan. Dari sebab itu, tidak pernah seorang nabi mau berbicara kalau dia belum mendengar atau menerima Firman Allah (bdk. Pareira, 2006: 15).
Mewartakan Firman Allah bukan hanya dengan kata-kata melainkan dengan perbuatan tanda atau melalui tindakan simbolis. Artinya bahwa dalam pewartaanya, seorang nabi tidak hanya berbicara tentang Firman Allah saja, tetapi sungguh ia praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula yang seharusnya dilakukan oleh calon katekis yang senantiasa mewartakan Firman Allah melalui tindakan secara konkret dan tidak hanya melalui perkataan saja. Simbol sama dengan lambang, yakni sesuatu yang menyatakan suatu hal atau mengandung maksud tertentu, tanda pengenal yang tetap menyatakan sifat, keadaan dan lain sebagainya (bdk. Martasudjita, 2003: 31).
Panggilan sebagai seorang katekis merupakan panggilan yang Ilahi yang menjadikan ia rasul pada zaman sekarang. Panggilan menjadi katekis berarti seorang katekis memiliki tugas menjadi perpanjangan tangan Tuhan, layaknya para nabi. Seluruh hidup katekis, baik dirinya maupun cara hidupnya harus merupakan suatu pantulan dari kabar keselamatan karena mewartakan Firman Allah, merupakan keharusan atau kewajibannya sebagai pewarta (bdk. Prasetya, 2007: 47).
Cobaan dan rintangan yang menghadang tentu bukan lagi masalah baru, dan bukan penghalang untuk mewartakan Firman Tuhan pada umat-Nya. Setiap pekerjaannya tidak terlepas dari penyertaan Allah karena seorang katekis tugasnya adalah mewartakan Firman-Nya. Katekis dewasa ini harus memiliki semangat layaknya para nabi untuk berjuang demi terlaksananya Kerajaan Allah secara benar. Maka dari itu dalam mewartakan Firman Allah, katekis tidak terlepas dari penyertaan Allah. Apa yang ia wartakan bukanlah kata-kata-Nya melainkan Firman Allah dan juga tidak mewartakan atas nama dirinya sendiri tapi justru atas nama Allah. Untuk itu para katekis diharapkan agar terus belajar meningkatkan pengetahuan katekese dengan belajar dari sumber/referensi yang tersedia dan mengikuti terus perkembangan zaman supaya tidak dibilang ketinggalan zaman. Selain itu katekis harus menyesuaikan diri dengan situasi di mana mereka bertugas atau berkarya (bdk. Komkat KWI, 2005: 72).

 
BAB V
PENUTUP

4.1.            Kesimpulan
Nabi memiliki peranan sebagai penerus rencana kehendak Allah, berkat ilham yang diterimanya dari Allah. Nabi menjadi orang yang peka sekali terhadap kehendak dan rencana Allah, berkat hubungan dan pergaulannya dengan Allah yang erat. Nabi tidak dapat menolak dan juga tidak mampu berusaha mendapatkan panggilan atau inspirasi kenabiannya sendiri. Semuanya diterima berkat prakarsa Allah. Nabi tidak dapat mengelak atas panggilan dan perutusan Allah itu.
Demikian pula halnya dengan menjadi sorang katekis. Menerima panggilan sebagai katekis berarti menjadi murid Yesus, sebab ia harus mengikuti Yesus dan hidup bersama Dia. Hanya seorang katekis yang menerima, mendengar, mendalami dan hidup sesuai dengan Sabda Tuhan yang dapat menjadikan dirinya sebagai gema yang mengudang, yang menyaksikan dan yang memanggil sesamanya untuk mengikuti sang Guru (Yesus) melalui pewartaannya, layaknya tugas para nabi.


4.2.            Refleksi dan Pergulatanku Mengenai Tugas dan Fungsi Nabi dalam Menjalankan Tugas Menjadi Seorang Calon Katekis
Menjadi seorang calon katekis merupakan tugas yang tidak mudah bagi diri penulis pribadi. Penulis merasa ada beberapa tekanan dari orang-orang sekitar terutama mereka yang hanya memandang rendah penulis yang memutuskan untuk menjadi sorang calon katekis. Pendidikan yang tergolong tidak terkenal di dunia pendidikan ini menjadikan penulis kerap ditanya oleh orang-orang terdekat panulis, “mengapa harus menjadi calon katekis?” pertanyaan tersebut seringkali menimbulkan tanda tanya besar dalam benak penulis. “Apa yang salah dari menjadi seorang calon katekis?”
Namun seiring berjalannya waktu dan mantapnya penulis untuk tetap menekuni apa yang ada, dan ditambah lagi dengan semangat dari orang-orang sekitar penulis yang mendukung pilihan penulis, penulis mejadi semakin merasa yakin akan panggilan penulis untuk menjadi seorang calon katekis.
Menjadi seorang calon katekis, sama hanya dengan menjadi nabi kecil yang memulai karyanya ditengan masyarakat yang membutuhkan pewartaan Sabda Allah. Untuk itulah penulis merasa seperti dicerahkan kembali akan tugas dan panggilan penulis sebagai seorang calon katekis, yang mana penulis dapat meneladani semangat para nabi. Penulis mendapatkan inspirasi yang baik dari tugas dan karya dari para nabi. Semangat perjuangan mereka untuk senantiasa mewartakan Kerajaan Allah di tengah umat yang terkadang tidak percaya akan dirinya membuat penulis semakin merasa tertantang untuk berkarya di tengah masyarakat ketika menjadi katekis kelak.
Penulis berharap semoga semangat panggilan yang penulis dapatkan untuk menjadi pewarta Sabda Allah ini senantiasa tetap menyala dalam hati penulis untuk menjadi pelayan umat. Semoga penulis tetap mampu menyalakan api semangat yang dimiliki para nabi agar tetap berkobar dalam diri penulis.


DAFTAR PUSTAKA


Groenen, C. 1992. Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius.

Lembaga Alkitab Indonesia. 2012, Alkitab Deuterokanonika, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.

Komisi Kateketik Keuskupan Padang. 1988, Spiritualita Seorang Katekis, Padang: Komisi Kateketik Keuskupan Padang.

Darmawijaya. 1992. Warisan Para Nabi. Yogyakarta: Kanisius.

Darmawijaya. 1990. Warta Nabi abad VIII. Yogyakarta: Kanisius.

Supriyadi, Agustinus. 2011. Kitab-kitab Para Nabi. Madiun: Karya tidak diterbitkan.

KOMKAT KWI. 1997. Pedoman untuk Katekis. Yogyakarta: Kanisius.

Prasetya, L. 1999. Menjadi Katekis Siapa Takut. Yogyakarta: Kanisius.

0 comments:

Post a Comment