BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Meskipun tidak
dapat disangkal bahwa semua orang Kristiani telah mengetahui, bahkan sering
menggunakan kata ‘Gereja’, namun hal itu bukan berarti bahwa semua orang
Kristiani juga mengetahui arti dari Gereja tersebut. Kebanyakan paham awal
dalam benak kita bila mendengar kata ‘Gereja’, kita selalu mengartikan ‘Gereja’
itu sebagai ‘tempat’ berhimpunnya kaum beriman Kristiani untuk menjalankan
Ibadat atau jenis-jenis agama lainnya. Padahal arti ‘Gereja’ dalam kehidupan Kristiani
tidaklah sesempit dan seterbatas itu. Gereja sesungguhnya mempunyai arti yang
sangat luas, mendalam, dan juga cukup rumit untuk dipahami.
Demikian juga halnya dengan Maria.
Kebanyakan orang Kristiani
mengangggap bahwa Maria adalah hanya sebagai pribadi yang menjadi perantara.
Padahal sebenarnya tidak
demikian. Banyak pertanyaan yang muncul ketika orang Kristiani memutuskan bahwa
Maria adalah sosok yang pantas untuk dijadikan teladan dalam kehidupan
menggereja, sehingga ia disebut sebagai ‘Bunda Gereja’. Alasan demi alasan pun
bermunculan dengan adanya pernyataan tersebut sehingga seringkali menjadi bahan
perdebatan.
Oleh karena itu, makalah ini dibuat untuk
mencoba menjelaskan tentang
pengertian Gereja dan Maria serta aplikasinya terhadap calon katekis. Dalam
makalah ini akan dijelaskan apa itu Gereja, dan siapa itu Maria yang berperan
sebagai Bunda Gereja.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
arti kata ‘Gereja’ yang sebenarnya?
2. Bagaimana
pemahaman mengenai Maria yang dikenal sebagai Bunda Gereja?
3. Siapa
katekis dan apa peran Gereja dan Maria bagi para calon katekis?
BAB II
PEMAHAMAN AKAN MARIA
DAN HIDUP GEREJA BAGI CALON KATEKIS
2.1.
Maria
Sering kita mendengar, bahwa hal yang paling membedakan
antara kita umat Katolik dengan saudara-saudari kita yang Kristen non-Katolik,
adalah ajaran tentang Maria. Sesungguhnya ini adalah fakta yang cukup ironis,
justru karena seharusnya Bunda Maria dapat mempersatukan kita sebagai satu
saudara. Mengapa? Karena melalui rahmat Pembaptisan yang satu (bdk.Ef 4:5) kita dijadikan anak-anak angkat
Allah di dalam Kristus (bdk. Ef 1:4-5), dan oleh karena itu,
kalau Bunda Maria adalah Bunda Kristus, maka Ia adalah Bunda kita juga. Maria
adalah Bunda Gereja, Ibu Rohani bagi semua umat beriman.
Putra Allah “dilahirkan dari seorang wanita” (bdk. Gal 4: 4). Kristus diakui sebagai
manusia biasa karena Ia dilahirkan dari seorang wanita biasa pula. Ia diakui
sebagai sungguh Putra Allah karena Ia dilahirkan bukan dari bapa duniawi,
tetapi dari Bapa Surgawi. Kemanusiaan dan keilahian disatukan oleh tindakan Roh
Kudus dalam pribadi ilahi Sang Sabda, dan karena itu Maria diterima sebagai
Bunda Allah. Misteri ini, yang diwartakan
melalui Maria, dilanjutkan dalam Gereja yang menghormati Maria secara khusus.
Untuk dapat menghormati pentingnya Maria dalam rencana keselamatan dunia, kita
perlu memperhatikan penempatan peranan Maria secara tepat. Pertama-tama, kita
tidak pernah
boleh melupakan kenyataan bahwa Maria adalah seorang manusia yang ditebus,
seperti kita. Allah telah menyiapkan Maria secara khusus untuk rencana
keselamatan-Nya.
Bunda Maria dikatakan sebagai ‘full
of grace/ penuh rahmat’ [kecharitomene -bahasa Yunani] pada saat
menerima Kabar Gembira dari Malaikat. Kecharitomene sendiri artinya
adalah diubahkan seluruhnya oleh rahmat Tuhan, jadi artinya Maria telah
disucikan seluruhnya oleh Tuhan sendiri. Dengan demikian Maria
dikuduskan bukan baru pada saat menerima kabar gembira (sebab jika demikian ia
tidak seluruhnya diubah/dipenuhi oleh rahmat Allah) melainkan sejak awal
mula konsepsinya di dalam rahim ibunya, Allah telah menguduskan dan
membebaskannya dari segala noda dosa.
Hal ini diperoleh Maria oleh karena
jasa pengorbanan Kristus, hanya saja ia memperoleh lebih dahulu, sebelum orang-
orang yang lain, dan bahkan sebelum korban salib Kristus terjadi. Allah yang
tidak terbatas oleh ruang dan waktu berhak memberikan rahmat-Nya menurut
kebijaksanaan-Nya.
Dalam pandangan ini Maria dihormati sebagai tokoh ciptaan
Tuhan yang paling sempurna dalam segala aspek. Allah telah memilihnya menjadi
Bunda Putra-Nya. Sebagai akibat, maka Allah telah membuat dia kebal terhadap
segala noda dosa, sejak saat Maria dikandung.
2.1.1. Ajaran tentang Maria
Mariologi adalah bagian
teologi yang didasarkan pada satu prinsip fundamental, yaitu Maria sebagai
Bunda Allah. Dari prinsip ini, dapat kita tarik kesimpulan-kesimpulan teologis
lainnya. Maka Mariologi ialah ilmu diskursif dan deduktif. Jadi, Mariologi
adalah ilmu teologi yang menyatakan kepada kita siapakah Maria itu dan apa
perannya bagi kita sekarang.
Sebagian teolog
memandang Maria sebagai seseorang yang dikaruniai hak istimewa dibandingkan
umat manusia seluruhnya, misalnya, ajaran tentang Maria dikandung tanpa noda
dosa, pengetahuan khusus Maria tentang misteri Yesus, pengangkatan Maria ke
Surga, dll. Cara pendekatan yang lebih umum saat ini ialah dengan mengikuti
proses deduktif-ilmiah, yaitu dengan menerima Maria sebagai Bunda Allah sebagai
kebenaran yang sangat penting. Kemudian, dari kebenaran ini ditarik kesimpulan
ajaran-ajaran yang sangat penting, terutama dalam hubungannya dengan
Soteriologi (teologi keselamatan), dan Eklesiologi (teologi tentang Gereja).
Maka, Maria (dan juga
Mariologi) berada dalam misteri Allah yang memberikan diri-Nya kepada kita
dalam pribadi Kristus dan dalam Gereja sebagai sakramen Kristus. Mariologi
berada pada inti Kristologi dan kelanjutannya, yaitu Eklesiologi. Judul dari Lumen Gentium Bab VIII menyatakan:
“Santa Perawan Maria, Bunda Allah, dalam Misteri Kristus dan Gereja”. Dalam Bab
VIII ini merupakan skema pembahasan yang menyeluruh dan terpadu. Bab ini
merupakan “diktat” yang baik tentang Maria, meskipun Konsili tidak bermaksud
untuk menyajikan sebuah studi lengkap tentang Maria.
2.1.2. Maria
dan Hidup Gereja
Doktrin Maria sebagai Bunda Allah/ “Theotokos”
… dinyatakan Gereja melalui Konsili di
Efesus (Th. 431) dan Konsili keempat di Chalcedon (Th. 451).
Pengajaran ini diresmikan pada kedua Konsili tersebut, namun bukan berarti
bahwa sebelum tahun 431, Bunda Maria belum disebut sebagai Bunda Allah.
Kepercayaan Gereja akan peran Maria sebagai Bunda Allah dan Hawa yang baru
sudah berakar sejak abad awal. Keberadaan Konsili Efesus yang mengajarkan “Theotokos”
tersebut adalah untuk menolak pengajaran sesat dari Nestorius. Nestorius hanya
mengakui Maria sebagai ibu kemanusiaan Yesus, tapi bukan ibu Yesus sebagai
Tuhan, sebab menurut Nestorius yang dilahirkan oleh Maria adalah manusia yang
di dalamnya Tuhan tinggal, dan bukan Tuhan sendiri yang sungguh menjelma
menjadi manusia. Konsili Efesus mengajarkan:
“Jika seseorang tidak mengakui bahwa Emmanuel adalah
Tuhan sendiri dan oleh karena itu Perawan Suci Maria adalah Bunda Tuhan (Theotokos);
dalam arti di dalam dagingnya ia [Maria] mengandung Sabda Allah yang menjelma
menjadi daging [seperti tertulis bahwa "Sabda sudah menjadidaging"],
terkutuklah ia.” (D113)
Maria sebagai Bunda Allah adalah pengajaran Gereja sepanjang sejarah dan ini ditegaskan
kembali dalam Konsili Vatikan II:
“Sebab perawan Maria, yang sesudah warta
Malaikat menerima Sabda Allah dalam hati maupun tubuhnya, serta memberikan
Hidup kepada dunia, diakui dan dihormati
sebagai Bunda Allah dan [Bunda] penebus yang sesungguhnya.” (Lumen
Gentium 53)
“Dengan mengandung Kristus, melahirkan-Nya,
membesarkan-Nya, menghadapkan-Nya kepada Bapa di kenisah, serta dengan ikut
menderita dengan Puteranya yang wafat di kayu salib, ia secara sungguh istimewa
bekerja sama dengan karya Juru selamat, dengan ketaatannya, iman, pengharapan
serta cinta kasihnya yang berkobar, untuk membaharui hidup adikodrati
jiwa-jiwa. Oleh karena itu dalam tata rahmat ia [Maria] menjadi Bunda kita.”
(Lumen Gentium 61)
Peranan
keibuan Maria sama sekali tidak mengaburkan atau mengurangi kepengantaraan
Yesus, tetapi malah memperkuatnya. Maka semua ajaran yang cenderung mengecilkan
kepengantaraan Kristus, harus ditentang. Konsili secara positif mengajarkan pengaruh Maria itu
bersumber pada perkenan ilahi. Tuhan sudah memberikan tempat yang paling indah
dan tepat bagi Maria, yaitu diantara makhluk ciptaan.
Pertama-tama
harus dimengerti bahwa Gereja disini dimengerti sebagai para beriman, tidak
termasuk Kristus sebagai Kepala dan Sumber. Kristus tidak termasuk dalam
pengertian “Gereja” di atas, sebab hal ini akan berarti bahwa Maria melahirkan
Kristus ke dalam rahmat. Keibuan Maria di sini dimengerti secara teologis,
bukan secara fisik, sebab hanya Yesus yang bisa memanggil Maria sebagai ibu
dalam arti fisik. Secara teologis Maria menjadi ibu karena ketaatan dan
imannya, dan karena itu menjadi model bagi Gereja. Inilah hakikat keibuan dalam
tata rahmat.
Karena
kepercayaan mutlaknya kepada sabda Allah maka Maria menjadi model keperawanan
bagi Gereja. Maria tidak ragu-ragu dan
tidak menyerahkan kepercayaannya kepada siapa pun selain kepada Allah. Ketaatan dan imannya yang mutlak menjadikan
Maria perawan dalam arti teologis.
Tradisi
mengajarkan bahwa keperawanan adalah ketergantungan tak tergoncangkan dari
Gereja pada iman, dan karena itu Gereja menyangkal segala keterlekatan pada
ajaran sesat. Kepercayaan, penyerahan total, dan loyalitas penuh Gereja pada
Sabda Allah yang dinyatakan dalam diri Yesus Kristus, menjadikan Gereja suatu
model keperawanan bagi para beriman.
Ketaatan
Maria menjadi contoh bagi kita, demikian juga dengan kekudusannya.Ketaatan iman
Maria ini bahkan dapat dibandingkan dengan ketaatan Bapa Abraham, sebagai bapa
umat beriman. Ketaatan iman Abraham menandai Perjanjian Lama, sedangkan
ketaatan Maria menandai Perjanjian Baru. Ketaatan iman Maria sampai di kaki
salib Kristus mendorong kita juga untuk taat sampai akhirnya, bahkan ketika
‘tidak ada dasar untuk berharap’ (bdk. Rom 4:18).
Ketaaatan
Bunda Maria ini mencakup ketaatan dalam mendengarkan Sabda Tuhan dan
melaksanakannya (bdk. Luk 8:21). Kita patut mencontoh Bunda Maria yang taat dan setia sepanjang
hidupnya, ketaatan yang membawanya berdiri mendampingi Yesus sampai di kaki
salib-Nya.
Tentang
Maria sebagai teladan ketaatan dan kekudusan bagi umat beriman, Konsili Vatikan
II mengajarkan:
“Namun sementara dalam diri Santa
perawan Gereja telah mencapai kesempurnaannya yang tanpa cacat atau kerut (lih.
Ef 5:27), kaum beriman kristiani sedang berusaha mengalahkan dosa dan mengembangkan
kesuciannya. Maka mereka mengangkat pandangannya ke arah Maria, yang
bercahaya sebagai pola keutamaan,
menyinari segenap jemaat para terpilih.” (Lumen Gentium 65)
2.2.
Hidup Gereja
2.2.1. Arti
Kata ‘Gereja’
Kata Gereja yang sekarang
dalam kehidupan Kristen mempunya arti yang cukup luas dan cukup rumit untuk
meneliti sumber aslinya karena berasal dari beberapa bahasa terjemahan. Dalam
Perjanjian Lama kata ‘Gereja’ berasal dari kata Portugis ‘Igreja’. Dalam
perpindahan bahasa, huruf ‘I’ dihilangkan. Kata tersebut mempunyai kaitan
dengan kata Spanyol ‘Igresia’, Perancis ‘Eglise’, Latin ‘Ecclesia’ dan Yunani
‘Ekklesia’. Semua kata tersebut mempunyai arti yang sama yang dalam bahasa
Indonesia disebut GEREJA.
Kata Ekklesia pertama-tama
mempunyai arti yang bersifat profan: Sidang, perkumpulan, perhimpunan, dan
paguyuban pada umumnya. Dalam terjemahan Alkitab yang berbahasa Yunani, kata
Ekklesia diterjemahkan dari kata Ibrani ‘qahal’. Dari sudut militer, kata
‘qahal’ berati kumpulan orang untuk memanggul senjata dan maju berperang. Dari
sudut politik, ‘qahal’ berarti himpunan para pemimpin israel yang dikumpulkan
oleh raja untuk mengambil keputusan. Sedangkan dari sudut sosio-religius,
‘qahal’ berarti bangsa yang dihimpun oleh Yahwe, yang dipadukan oleh
aturan-aturan dari Yahwe dan yang mengambil bagian dalam perjanjian dengan-Nya.
Dengan kata lain, umat yang menjawab panggilan Yahwe. Pengertian lain , yaitu
bangsa yang dipersembahkan kepada Yahwe, kerumunan orang di sekitar persembahan
dan kerumunan orang yang beribadat di Kenisah.
Dalam Perjanjian Baru
terdapat kata yang diterjemahkan GEREJA yaitu Synagoge Ekklesia yang
masing-masing dari Bahasa Ibrani dan Yunani. Synagoge berarti pertemuan dan
kelompok/himpunan para pengikut Yesus (Yak 2: 2). Dalam Injil, Synagoge berarti
tepat pertemuan Jemaat Yahudi atau Jemaat Yahudi itu sendiri mewakili seluruh Bangsa
Yahudi. Dalam Wahyu 2:9 dan Wahyu 3:9, Synagoge berarti Jemaat Yahudi.
Dalam Surat Paulus,
‘Gereja’ dipakai untuk menyatakan:
·
Pemenuhan panggilan Allah bertolak dari
pewartaan Yesus Kristus.
·
Orang-orang yang terpilih dalam Allah.
·
Jemaat dalam Kristus atau dari Kristus.
·
Tubuh atau bangunan yang merupakan
pernyataan Kerajaan Kristus dan Kristus kepalanya.
Dalam Injil Matius,
Gereja diartikan sebagai sejumlah orang yang hidup dan bertemu di suatu tempat
serta memandang diri mereka sebagai Israel Sejati karena disatukan oleh Yesus
Sang Mesias (Mat 18: 17). Dalam pengertian yang Eschatologis, Gereja dinyatakan
oleh Matius sebagai Perhimpunan Umat Allah yang benar.
Injil Lukas,
mengungkapkan kata Ekklesia (=Gereja) terutama dalam Kisah Para Rasul. Menurut
Lukas, Gereja berarti Jemaat Pengikut Kristus yang terwujud dalam setiap
tempat, namun tetap satu. Yakobus menggunakan kata Ekklesia dalam arti teknis
yaitu sebagai suatu perkumpulan lokal yang diorganisasikan secara jelas dengan
pola synagoga Yahudi (Yak 5: 14). Dalam Surat kepada jemaat di Ibrani, Gereja
berarti perayaan kultus/peribadatan (Ibr 2: 12). (Ibr 12: 23) Gereja
menunjukkan Jemaat Allah yang bersatu dengan Bapa di Surga dalam kesempurnaan
(lebih pada warna eschatologis).
Makna Gereja dalam Perjanjian Baru memang tidak
terlepas dengan makna ‘jemaah’ dalam Perjanjian Lama karena Perjajian Lama dan
Perjanjian Baru memang berhubungan satu dengan yang lainnya; dengan Perjanjian
Baru sebangai penggenapan dari Perjanjian Lama. Dengan demikian, Gereja
mempunyai makna yang jauh lebih mendalam daripada hanya sekedar kumpulan
orang-orang yang memuji Tuhan.Sebab Gereja telah dirintis oleh Allah sejak masa
Perjanjian Lama, namun kemudian disempurnakan dalam Perjanjian Baru; dengan
dijiwai dan diberi hidup oleh Kristus sendiri, agar dapat sampai kepada kehidupan
yang kekal (Yoh 6:54).
2.2.2. Yesus
Mendirikan Gereja-Nya
Suatu yang salah paham, jika dikatakan bahwa Yesus tidak mendirikan
Gereja. Yesus mendirikan Gereja-Nya di atas Petrus, sebagaimana dikatakannya: “Engkau adalah Petrus dan di atas batu
karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.”
(Mat 16:18).
Gereja Katolik lahir, tumbuh dan dihidupkan oleh Sabda Allah, dan tubuh
dan darah Kristus.Peran sabda dan ekaristi ini dikisahkan dalam penampakan
Yesus di Emaus (Luk 24:13-32). Ahli waris pertama keselamatan adalah Gereja.Kristus
memenangkan Gereja bagi diri-Nya sendiri dengan menumpahkan darah-Nya sendiri
dan menjadikan Gereja itu sebagai pekerja yang bekerja dalam penyelamatan
dunia. Universalitas keselamatan Kristus untuk dunia ini berarti bahwa keselamatan itu
tidak hanya dianugerahkan kepada orang yang secara eksplisit percaya akan
Kristus dan telah masuk anggota Gereja.
2.2.3. Gereja
sebagai Tubuh Kristus
Berkat ciri katolik
setiap bagian Gereja menyumbangkan kepunyannya sendiri kepada bagian-bagian
lainnya dan kepada seluruh Gereja. Maka dalam persekutuan Gereja selayaknya
pula terdapat Gereja-Gereja khusus, yang memiliki tradisi mereka sendiri. Maka
antara pelbagai bagian Gereja perlu ada kaitan persekutuan yang mesra mengenai
kekayaan
rohani, para pekerja dalam kerasulan dan bantuan materiil. Sebab para anggota
umat Allah dipanggil untuk saling berbagi harta-benda, dan bagi masing-masing
Gereja pun berlaku amanat Rasul: “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai
dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik
dari kasih karunia Allah” (bdk.
1Ptr
4:10).
Dalam kodrat manusiawi
yang disatukan dengan diri-Nya Putera Allah telah mengalahkan maut dengan wafat
dan kebangkitan-Nya. Demikian Ia telah menebus manusia dan mengubahnya menjadi
ciptaan baru (Gal 6:15; 2Kor 5:17). Sebab Ia telah mengumpulkan
saudara-saudara-Nya dari segala bangsa, dan dengan mengaruniakan Roh-Nya Ia
secara gaib membentuk mereka menjadi Tubuh-Nya. Dalam Tubuh itu hidup Kristus
dicurahkan ke dalam umat beriman.
2.2.4. Gereja
sebagai Sakramen Keselamatan Universal
Gereja universal menurut Kitab Suci yaitu: Persatuan dan persaudaraan di
dalam Tubuh Gereja oleh Sabda dan Iman yang sama kepada Allah Tritunggal dalam
bimbingan Roh Kudus yang sama pula, mewujudkan universalitas karya penyelamata
Kristus dalam Tubuh Gereja yang universal. Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru,
Gereja disebut juga persaudaraan yang tampak dalam kehidupan Gereja purba (Kis
2:44-45; 4:32.34-35).
Gereja universal menurut padangan Gereja yaitu: Tema pokok yang selalu
dibicarakan oleh Konstitusi Konsili tentang Gereja adalah “GEREJA” yakni gereja
ad intra menyangkut urusan di dalam
Tubuh Gereja itu sendiri dan Gereja ad
ekstra yaitu urusan di luat Tubuh Gereja yaitu: urusan mengenai Gereja yang
menghadapi persoalan-persoalan besar, yang sekarang menjadi pikiran pribadi
manusia dan masyarakat serta kebutuhan akan keadilan dan perdamaian.
Gereja universal dalam liturgi yaitu: Liturgi merupakan perayaan
ungkapan iman Gereja. Di dalam setiap umat beriman menyatakan hormat, pujian,
syukur terima kasih dan permohonannya kepada Allah. Ibadat inilah yang menjadi
sarana pengungkapan, peneguhan, ekspresi kebutuhan umat akan imannya kepada
allah. Di sini ibadat menjadi bengkel iman kepada Allah Tritungggal.Hal ini
terungkap dalam perayaan Ekaristi kudus. Semua kaidah dan ketentuan lain yang
berhubungan dengan pelaksanaan Liturgi di dalam Gereja ini sudah diatur dalam
Konsili suci tentang Liturgi yang disebut Sacrossactum
Concilium.
Gereja universal dalam Katekese yaitu: Katekese merupakan tugas hakiki
dari Gereja untuk mewujudkan tugas mulia universal yakni mewartakan Kabar
Gembira kepada seluruh jemaat. Gereja memandang katekese sebagai tugas yang
suci dan mempunyai hak yang tak dapat diganggu gugat karena katekese merupakan
suatu tugas/perintah yang diberikan oleh Tuhan sendiri dalam malanjutkan karya
penyelamatan-Nya.
2.3. Katekis
2.3.1. Identitas
dan Peranan Katekis
Setiap orang Katolik yang telah dibaptis secara pribadi dipanggil oleh
Roh Kudus untuk memberikan sumbangannya bagi kedatangan Kerajaan Allah.Dalam
keadaan sebagai awam, ada berbagai macam panggilan yang bisa ditempuh baik oleh
pribadi maupun kelompok.
Oleh karena itu, pada sumber panggilan katekis, ada panggilan khusus
dari Roh Kudus, suatu “karisma khusus yang diakui oleh Gereja” dan diperjelas
oleh tugas perutusan dari uskup. Calon katekis perlu menyadari makna adikodrati
dan gerejawi dari panggilan ini, sehingga ia bisa menjawab, seperti Putra
Allah, “Sungguh, Aku datang” (Ibr 10:7), atau seperti sang nabi, “ini aku,
utuslah aku” (Yes 6:8).
Dalam praktek yang
sebenarnya, panggilan katekis bersifat khusus,
yakni untuk tugas katekese, dan umum,
untuk bekerja sama dalam pelayanan kerasulan apa saja yang berguna untuk
membangun Gereja. Oleh karena itu, setia katekis harus berusaha menemukan,
menangkap secara jelas, dan memupuk panggilannya yang khusus ini.
Hal lain yang terkait
dengan persolan mengenai identitas katekis adalah peranan katekis dalam
kegiatan misi, suatu peran yang sangat penting dan berdimensi banyak. Pada
tempat pertama, katekis berperan menyampaikan secara jelas pesan Kristiani dan
menemani para katekumen dan orang-orang Kristen yang baru dibaptis dalam
perjalanannya yang menuju kedewasaan iman serta kehidupan sakramental yang
penuh. Di samping itu, peran katekis adalah hadir dan menjadi saksi, dan
terlibat dalam perkembangan manusia, inkulturasi, dan dialog.
Singkatnya, katekis di wilayah misi mempunyai empat ciri, yaitu: suatu
panggilan dari Roh Kudus; suatu tugas perutusan Gereja; bekerja sama dengan
tugas perutusan apostolik dari uskup; dan suatu hubungan khusus dengan kegiatan
misi ad gentes (kepada segala
bangsa).
2.3.2. Gereja
dan Maria di Mata Para Calon Katekis
Para katekis adalah anggota Gereja; dan dari Gereja inilah mereka
memperoleh amanat untuk menjadi katekis.Sabda telah dipercayakan kepada Gereja
untuk dipelihara dengan setia. Sementara itu, pemahaman Gereka akan sabda itu
diperdalam dengan bantuan Roh Kudus, dan kemudian diwartakannya kepada seluruh
dunia.
Sebagai Umat Allah dan Tubuh Mistik Kristus, Gereja membutuhkan diri
para katekis memiliki rasa dan tanggung jawab yang mendalam, sejauh mereka
adalah anggota yang hidup dan aktif dari Gereja.Sebagai sakramen keselamatan
universal, Gereja berkeinginan untuk menghidupi misterinya dan rahmatnyayang
berlipat ganda agar diperkaya oleh itu dan menjadi tanda yang kelihatan bagi
masyarakat.Pelayanan katekis tidak pernah merupakan suatu kegiatan individu
atau kegiatan yang terpisah, melainkan selalu merupakan kegiatan gerejawi.
Keterbukaan terhadap Gereja terungkap dalam cinta, pengabdian tehadap
pelayanan, dan kesediaannya untuk menderita.Para calon katekis nantinya harus
ikut serta bertanggung jawab dalam perubahan-perubahan duniawi sepanjang
peziarahan Gereja, yang pada hakikatnya bersifat missioner (bdk. Konsili Vatikan II, Ad Gentes, 2; 6; 9), dan bersama dengan
Gereja mendambakan persekutuan akhir dengan Kristus sang mempelai.
Mengingat pembaptisan dan panggilan khusus mereka, para katekis yang
hidup dalam pergaulan sehari-hari dengan sejumlah orang yang bukan Kristen,
sebagaimana halnya yang terjadi di wilayah-wilayah misi, tidak bisa tidak
merasa digugah oleh Kristus: “Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan
dari kandang ini, dan domba-domba ini pun harus Kutuntun juga” (Yoh 10:16);
“Pergilah ke seluruh dunia dan beritakanlah Injila kepada segala makhluk” (Mrk
16:15).
Para katekis juga perlu berkembang secara rohaniah dalam kedamaian dan
keberanian (bdk. Rm. 12:12). Oleh
karena Kristus adalah “damai sejahtera kita” (Ef 2:14), Ia member para
rasul-Nya sukacita-Nya sehingga “sukacita mereka menjadi penuh” (Yoh 15:11).
Para katekis harus mampu menjadi pembawa sukacita dan harapan Paskah
atas nama Gereja. Dalam kenyataannya, “anugerah yang paling tepat yang dapat
diberikan Gereja kepada dunia yang bingung dan tidak tenang pada jaman ini
adalah mendidik orang-orang Kristen di dalam dunia ini.Orang-orang Kristen ini
diberi keteguhan akan apa yang hakiki dan yang dengan rendah hati bersukacita
dalam iman mereka.” (Johannes Paulus II, Catechesi
Tradendae, 61, l.c. 1328)
Oleh karena itu, perasaan bersatu dengan Gereja yang tepat untuk
spiritualitas katekis terungkap dengan sendirinya dalam cinta yang tulus
terhadap Gereja, dalam mengikuti Kristus, yang “mencintai Gereja dan
mengorbankan diri-Nya untuk Gereja.”
Melalui panggilan khususnya, Maria sebagai Putra Allah “bertambah besar
dalam hikmat dan rahmat” (Luk 2:52).Ia adalah guru yang “mengajari-Nya
pengetahuan akan Kitab Suci dan akan rencana kasih Allah bagi umat-Nya, dan
juga akan cinta yang mendalam akan Bapa.” (Johanes Paulus II, Catechesi Tradendae 73: l.c.1340). Kita dapat mengatakan secara
masuk akal dan dengan penuh kegembiraan bahwa Bunda Maria adalah “katekismus
hidup,” “ibu, dan model katekis.” (Johannes Paulus II, Catechesi Tradendae, 61, l.c.
1328)
Spiritualitas katekis, sebagaimana spiritualitas setiap orang Kristen
dan khususnya mereka yang terlibat dalam karya kerasulan, akan dipercaya oleh
devosi yang mendalam kepada bunda Tuhan. Sebelum menjelaskan kepada orang lain
tempat Maria dalam misteri Kristus dan Gereja, (bdk. KGK 487-507; 963-972) mereka harus merasakan kehadirannya
dalam hati mereka dan harus memberi kesaksian akan kesucian yang tulus dari
Bunda Maria (bdk. KGK
2673-2679), yang akan mereka sampaikan kepada umat. Mereka akan menemukan dalam
diri bunda Maria suatu model yang sederhana dan efektif bagi dirinya sendiri
dan bagi orang lain: “Perawan Maria dalam hidupnya telah memberi contoh
mengenai kasih ibu yang harus membangkitkan semangat semua orang yang ikut
ambil bagian dalam misi kerasulan Gereja demi kelahiran kembali umat manusia”
(Konsili Vatikan II, Lumen Gentium,
65).
Seorang katekis yang
berperan sebagai pewarta sabda selalu dikaitkan dengan doa, perayaan ekaristi,
dan pembangunan komunitas Kristiani. Komunitas Kristen paling awal merupakan
model bagi komunitas ini (bdk. Kis
2-4), yang dipersatukan di sekitar Bunda Maria ibu Yesus (bdk. Kis 1:14).
DAFTAR PUSTAKA
Edwin Nyoman Paska, Paskalis, Dr,
2011, Kompendium Katekismus Gereja
Katolik, Malang: Dioma.
IKAPI, anggota DKI Jakarta, 2005, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OFM.
Jacobs, Tom, 1992, Gereja menurut Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius.
JB, Banawiratma, 1986, Gereja dan Masyarakat, Yogyakarta:
Kanisius.
Kokoh,
Jost,2009, Beriman Bersama Maria, Yogyakarta:Kanisius.
Komkat, Katekese KWI, 1999, Pedoman untuk Katekis, Yogyakarta: Kanisius.
KWI, 1993, Dokumen Konsili Vatikan II (terj. R. Hardowiryana, SJ), Jakarta:
Obor.
KWI, 1995, Katekismus Gereja Katolik, Ende: Arnoldus.
KWI, 1999, Iman Katolik (Buku Informasi dan Referensi), Yogyakarta-Jakarta:
Kanisius-Obor.
KWI, 2006, Catechesi Tradendae (Penyelenggaraan Katekese), Yogyakarta: Kanisius.
Lembaga
Alkitab Indonesia, 2012, Alkitab
Deuterokanonika, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
Situs
Web:


0 comments:
Post a Comment