RSS

Peran Maria dan Hidup Gereja bagi Calon Katekis

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Meskipun tidak dapat disangkal bahwa semua orang Kristiani telah mengetahui, bahkan sering menggunakan kata ‘Gereja’, namun hal itu bukan berarti bahwa semua orang Kristiani juga mengetahui arti dari Gereja tersebut. Kebanyakan paham awal dalam benak kita bila mendengar kata ‘Gereja’, kita selalu mengartikan ‘Gereja’ itu sebagai ‘tempat’ berhimpunnya kaum beriman Kristiani untuk menjalankan Ibadat atau jenis-jenis agama lainnya. Padahal arti ‘Gereja’ dalam kehidupan Kristiani tidaklah sesempit dan seterbatas itu. Gereja sesungguhnya mempunyai arti yang sangat luas, mendalam, dan juga cukup rumit untuk dipahami.
Demikian juga halnya dengan Maria. Kebanyakan orang Kristiani mengangggap bahwa Maria adalah hanya sebagai pribadi yang menjadi perantara. Padahal sebenarnya tidak demikian. Banyak pertanyaan yang muncul ketika orang Kristiani memutuskan bahwa Maria adalah sosok yang pantas untuk dijadikan teladan dalam kehidupan menggereja, sehingga ia disebut sebagai ‘Bunda Gereja’. Alasan demi alasan pun bermunculan dengan adanya pernyataan tersebut sehingga seringkali menjadi bahan perdebatan.
Oleh karena itu, makalah ini dibuat untuk mencoba menjelaskan tentang pengertian Gereja dan Maria serta aplikasinya terhadap calon katekis. Dalam makalah ini akan dijelaskan apa itu Gereja, dan siapa itu Maria yang berperan sebagai Bunda Gereja.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah arti kata ‘Gereja’ yang sebenarnya?
2.      Bagaimana pemahaman mengenai Maria yang dikenal sebagai Bunda Gereja?
3.      Siapa katekis dan apa peran Gereja dan Maria bagi para calon katekis?


BAB II
PEMAHAMAN AKAN MARIA DAN HIDUP GEREJA BAGI CALON KATEKIS

2.1.       Maria
Sering kita mendengar, bahwa hal yang paling membedakan antara kita umat Katolik dengan saudara-saudari kita yang Kristen non-Katolik, adalah ajaran tentang Maria. Sesungguhnya ini adalah fakta yang cukup ironis, justru karena seharusnya Bunda Maria dapat mempersatukan kita sebagai satu saudara. Mengapa? Karena melalui rahmat Pembaptisan yang satu (bdk.Ef 4:5) kita dijadikan anak-anak angkat Allah di dalam Kristus (bdk. Ef 1:4-5), dan oleh karena itu, kalau Bunda Maria adalah Bunda Kristus, maka Ia adalah Bunda kita juga. Maria adalah Bunda Gereja, Ibu Rohani bagi semua umat beriman.
Putra Allah “dilahirkan dari seorang wanita” (bdk. Gal 4: 4). Kristus diakui sebagai manusia biasa karena Ia dilahirkan dari seorang wanita biasa pula. Ia diakui sebagai sungguh Putra Allah karena Ia dilahirkan bukan dari bapa duniawi, tetapi dari Bapa Surgawi. Kemanusiaan dan keilahian disatukan oleh tindakan Roh Kudus dalam pribadi ilahi Sang Sabda, dan karena itu Maria diterima sebagai Bunda Allah.  Misteri ini, yang diwartakan melalui Maria, dilanjutkan dalam Gereja yang menghormati Maria secara khusus. Untuk dapat menghormati pentingnya Maria dalam rencana keselamatan dunia, kita perlu memperhatikan penempatan peranan Maria secara tepat. Pertama-tama, kita tidak pernah boleh melupakan kenyataan bahwa Maria adalah seorang manusia yang ditebus, seperti kita. Allah telah menyiapkan Maria secara khusus untuk rencana keselamatan-Nya.
Bunda Maria dikatakan sebagai ‘full of grace/ penuh rahmat’ [kecharitomene -bahasa Yunani] pada saat menerima Kabar Gembira dari Malaikat. Kecharitomene sendiri artinya adalah diubahkan seluruhnya oleh rahmat Tuhan, jadi artinya Maria telah disucikan seluruhnya oleh Tuhan sendiri. Dengan demikian Maria dikuduskan bukan baru pada saat menerima kabar gembira (sebab jika demikian ia tidak seluruhnya diubah/dipenuhi oleh rahmat Allah) melainkan sejak awal mula konsepsinya di dalam rahim ibunya, Allah telah menguduskan dan membebaskannya dari segala noda dosa.
Hal ini diperoleh Maria oleh karena jasa pengorbanan Kristus, hanya saja ia memperoleh lebih dahulu, sebelum orang- orang yang lain, dan bahkan sebelum korban salib Kristus terjadi. Allah yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu berhak memberikan rahmat-Nya menurut kebijaksanaan-Nya.
Dalam pandangan ini Maria dihormati sebagai tokoh ciptaan Tuhan yang paling sempurna dalam segala aspek. Allah telah memilihnya menjadi Bunda Putra-Nya. Sebagai akibat, maka Allah telah membuat dia kebal terhadap segala noda dosa, sejak saat Maria dikandung.

2.1.1. Ajaran tentang Maria
Mariologi adalah bagian teologi yang didasarkan pada satu prinsip fundamental, yaitu Maria sebagai Bunda Allah. Dari prinsip ini, dapat kita tarik kesimpulan-kesimpulan teologis lainnya. Maka Mariologi ialah ilmu diskursif dan deduktif. Jadi, Mariologi adalah ilmu teologi yang menyatakan kepada kita siapakah Maria itu dan apa perannya bagi kita sekarang.
Sebagian teolog memandang Maria sebagai seseorang yang dikaruniai hak istimewa dibandingkan umat manusia seluruhnya, misalnya, ajaran tentang Maria dikandung tanpa noda dosa, pengetahuan khusus Maria tentang misteri Yesus, pengangkatan Maria ke Surga, dll. Cara pendekatan yang lebih umum saat ini ialah dengan mengikuti proses deduktif-ilmiah, yaitu dengan menerima Maria sebagai Bunda Allah sebagai kebenaran yang sangat penting. Kemudian, dari kebenaran ini ditarik kesimpulan ajaran-ajaran yang sangat penting, terutama dalam hubungannya dengan Soteriologi (teologi keselamatan), dan Eklesiologi (teologi tentang Gereja).
Maka, Maria (dan juga Mariologi) berada dalam misteri Allah yang memberikan diri-Nya kepada kita dalam pribadi Kristus dan dalam Gereja sebagai sakramen Kristus. Mariologi berada pada inti Kristologi dan kelanjutannya, yaitu Eklesiologi. Judul dari Lumen Gentium Bab VIII menyatakan: “Santa Perawan Maria, Bunda Allah, dalam Misteri Kristus dan Gereja”. Dalam Bab VIII ini merupakan skema pembahasan yang menyeluruh dan terpadu. Bab ini merupakan “diktat” yang baik tentang Maria, meskipun Konsili tidak bermaksud untuk menyajikan sebuah studi lengkap tentang Maria.

2.1.2. Maria dan Hidup Gereja
Doktrin Maria sebagai Bunda Allah/ “Theotokos” … dinyatakan Gereja melalui Konsili di Efesus (Th. 431) dan Konsili keempat di Chalcedon (Th. 451). Pengajaran ini diresmikan pada kedua Konsili tersebut, namun bukan berarti bahwa sebelum tahun 431, Bunda Maria belum disebut sebagai Bunda Allah. Kepercayaan Gereja akan peran Maria sebagai Bunda Allah dan Hawa yang baru sudah berakar sejak abad awal. Keberadaan Konsili Efesus yang mengajarkan “Theotokos” tersebut adalah untuk menolak pengajaran sesat dari Nestorius. Nestorius hanya mengakui Maria sebagai ibu kemanusiaan Yesus, tapi bukan ibu Yesus sebagai Tuhan, sebab menurut Nestorius yang dilahirkan oleh Maria adalah manusia yang di dalamnya Tuhan tinggal, dan bukan Tuhan sendiri yang sungguh menjelma menjadi manusia. Konsili Efesus mengajarkan:
“Jika seseorang tidak mengakui bahwa Emmanuel adalah Tuhan sendiri dan oleh karena itu Perawan Suci Maria adalah Bunda Tuhan (Theotokos); dalam arti di dalam dagingnya ia [Maria] mengandung Sabda Allah yang menjelma menjadi daging [seperti tertulis bahwa "Sabda sudah menjadidaging"], terkutuklah ia.” (D113)

Maria sebagai Bunda Allah adalah pengajaran Gereja sepanjang sejarah dan ini ditegaskan kembali dalam Konsili Vatikan II:
“Sebab perawan Maria, yang sesudah warta Malaikat menerima Sabda Allah dalam hati maupun tubuhnya, serta memberikan Hidup kepada dunia, diakui dan dihormati sebagai Bunda Allah dan [Bunda] penebus yang sesungguhnya.” (Lumen Gentium 53)

Dengan mengandung Kristus, melahirkan-Nya, membesarkan-Nya, menghadapkan-Nya kepada Bapa di kenisah, serta dengan ikut menderita dengan Puteranya yang wafat di kayu salib, ia secara sungguh istimewa bekerja sama dengan karya Juru selamat, dengan ketaatannya, iman, pengharapan serta cinta kasihnya yang berkobar, untuk membaharui hidup adikodrati jiwa-jiwa. Oleh karena itu dalam tata rahmat ia [Maria] menjadi Bunda kita.” (Lumen Gentium 61)
Peranan keibuan Maria sama sekali tidak mengaburkan atau mengurangi kepengantaraan Yesus, tetapi malah memperkuatnya. Maka semua ajaran yang cenderung mengecilkan kepengantaraan Kristus, harus ditentang. Konsili secara positif mengajarkan pengaruh Maria itu bersumber pada perkenan ilahi. Tuhan sudah memberikan tempat yang paling indah dan tepat bagi Maria, yaitu diantara makhluk ciptaan.
Pertama-tama harus dimengerti bahwa Gereja disini dimengerti sebagai para beriman, tidak termasuk Kristus sebagai Kepala dan Sumber. Kristus tidak termasuk dalam pengertian “Gereja” di atas, sebab hal ini akan berarti bahwa Maria melahirkan Kristus ke dalam rahmat. Keibuan Maria di sini dimengerti secara teologis, bukan secara fisik, sebab hanya Yesus yang bisa memanggil Maria sebagai ibu dalam arti fisik. Secara teologis Maria menjadi ibu karena ketaatan dan imannya, dan karena itu menjadi model bagi Gereja. Inilah hakikat keibuan dalam tata rahmat.
Karena kepercayaan mutlaknya kepada sabda Allah maka Maria menjadi model keperawanan bagi Gereja. Maria tidak ragu-ragu dan  tidak menyerahkan kepercayaannya kepada siapa pun selain kepada Allah.  Ketaatan dan imannya yang mutlak menjadikan Maria perawan dalam arti teologis.
Tradisi mengajarkan bahwa keperawanan adalah ketergantungan tak tergoncangkan dari Gereja pada iman, dan karena itu Gereja menyangkal segala keterlekatan pada ajaran sesat. Kepercayaan, penyerahan total, dan loyalitas penuh Gereja pada Sabda Allah yang dinyatakan dalam diri Yesus Kristus, menjadikan Gereja suatu model keperawanan bagi para beriman.
Ketaatan Maria menjadi contoh bagi kita, demikian juga dengan kekudusannya.Ketaatan iman Maria ini bahkan dapat dibandingkan dengan ketaatan Bapa Abraham, sebagai bapa umat beriman. Ketaatan iman Abraham menandai Perjanjian Lama, sedangkan ketaatan Maria menandai Perjanjian Baru. Ketaatan iman Maria sampai di kaki salib Kristus mendorong kita juga untuk taat sampai akhirnya, bahkan ketika ‘tidak ada dasar untuk berharap’ (bdk. Rom 4:18).
Ketaaatan Bunda Maria ini mencakup ketaatan dalam mendengarkan Sabda Tuhan dan melaksanakannya (bdk. Luk 8:21). Kita patut mencontoh Bunda Maria yang taat dan setia sepanjang hidupnya, ketaatan yang membawanya berdiri mendampingi Yesus sampai di kaki salib-Nya.
Tentang Maria sebagai teladan ketaatan dan kekudusan bagi umat beriman, Konsili Vatikan II mengajarkan:
“Namun sementara dalam diri Santa perawan Gereja telah mencapai kesempurnaannya yang tanpa cacat atau kerut (lih. Ef 5:27), kaum beriman kristiani sedang berusaha mengalahkan dosa dan mengembangkan kesuciannya. Maka mereka mengangkat pandangannya ke arah Maria, yang bercahaya sebagai pola keutamaan, menyinari segenap jemaat para terpilih.” (Lumen Gentium 65)

2.2.       Hidup Gereja
2.2.1. Arti Kata ‘Gereja’
Kata Gereja yang sekarang dalam kehidupan Kristen mempunya arti yang cukup luas dan cukup rumit untuk meneliti sumber aslinya karena berasal dari beberapa bahasa terjemahan. Dalam Perjanjian Lama kata ‘Gereja’ berasal dari kata Portugis ‘Igreja’. Dalam perpindahan bahasa, huruf ‘I’ dihilangkan. Kata tersebut mempunyai kaitan dengan kata Spanyol ‘Igresia’, Perancis ‘Eglise’, Latin ‘Ecclesia’ dan Yunani ‘Ekklesia’. Semua kata tersebut mempunyai arti yang sama yang dalam bahasa Indonesia disebut GEREJA.
Kata Ekklesia pertama-tama mempunyai arti yang bersifat profan: Sidang, perkumpulan, perhimpunan, dan paguyuban pada umumnya. Dalam terjemahan Alkitab yang berbahasa Yunani, kata Ekklesia diterjemahkan dari kata Ibrani ‘qahal’. Dari sudut militer, kata ‘qahal’ berati kumpulan orang untuk memanggul senjata dan maju berperang. Dari sudut politik, ‘qahal’ berarti himpunan para pemimpin israel yang dikumpulkan oleh raja untuk mengambil keputusan. Sedangkan dari sudut sosio-religius, ‘qahal’ berarti bangsa yang dihimpun oleh Yahwe, yang dipadukan oleh aturan-aturan dari Yahwe dan yang mengambil bagian dalam perjanjian dengan-Nya. Dengan kata lain, umat yang menjawab panggilan Yahwe. Pengertian lain , yaitu bangsa yang dipersembahkan kepada Yahwe, kerumunan orang di sekitar persembahan dan kerumunan orang yang beribadat di Kenisah.
Dalam Perjanjian Baru terdapat kata yang diterjemahkan GEREJA yaitu Synagoge Ekklesia yang masing-masing dari Bahasa Ibrani dan Yunani. Synagoge berarti pertemuan dan kelompok/himpunan para pengikut Yesus (Yak 2: 2). Dalam Injil, Synagoge berarti tepat pertemuan Jemaat Yahudi atau Jemaat Yahudi itu sendiri mewakili seluruh Bangsa Yahudi. Dalam Wahyu 2:9 dan Wahyu 3:9, Synagoge berarti Jemaat Yahudi.
Dalam Surat Paulus, ‘Gereja’ dipakai untuk menyatakan:
·         Pemenuhan panggilan Allah bertolak dari pewartaan Yesus Kristus.
·         Orang-orang yang terpilih dalam Allah.
·         Jemaat dalam Kristus atau dari Kristus.
·         Tubuh atau bangunan yang merupakan pernyataan Kerajaan Kristus dan Kristus kepalanya.
Dalam Injil Matius, Gereja diartikan sebagai sejumlah orang yang hidup dan bertemu di suatu tempat serta memandang diri mereka sebagai Israel Sejati karena disatukan oleh Yesus Sang Mesias (Mat 18: 17). Dalam pengertian yang Eschatologis, Gereja dinyatakan oleh Matius sebagai Perhimpunan Umat Allah yang benar.
Injil Lukas, mengungkapkan kata Ekklesia (=Gereja) terutama dalam Kisah Para Rasul. Menurut Lukas, Gereja berarti Jemaat Pengikut Kristus yang terwujud dalam setiap tempat, namun tetap satu. Yakobus menggunakan kata Ekklesia dalam arti teknis yaitu sebagai suatu perkumpulan lokal yang diorganisasikan secara jelas dengan pola synagoga Yahudi (Yak 5: 14). Dalam Surat kepada jemaat di Ibrani, Gereja berarti perayaan kultus/peribadatan (Ibr 2: 12). (Ibr 12: 23) Gereja menunjukkan Jemaat Allah yang bersatu dengan Bapa di Surga dalam kesempurnaan (lebih pada warna eschatologis).
Makna Gereja dalam Perjanjian Baru memang tidak terlepas dengan makna ‘jemaah’ dalam Perjanjian Lama karena Perjajian Lama dan Perjanjian Baru memang berhubungan satu dengan yang lainnya; dengan Perjanjian Baru sebangai penggenapan dari Perjanjian Lama. Dengan demikian, Gereja mempunyai makna yang jauh lebih mendalam daripada hanya sekedar kumpulan orang-orang yang memuji Tuhan.Sebab Gereja telah dirintis oleh Allah sejak masa Perjanjian Lama, namun kemudian disempurnakan dalam Perjanjian Baru; dengan dijiwai dan diberi hidup oleh Kristus sendiri, agar dapat sampai kepada kehidupan yang kekal (Yoh 6:54).

2.2.2. Yesus Mendirikan Gereja-Nya
Suatu yang salah paham, jika dikatakan bahwa Yesus tidak mendirikan Gereja. Yesus mendirikan Gereja-Nya di atas Petrus, sebagaimana dikatakannya: “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.” (Mat 16:18).
Gereja Katolik lahir, tumbuh dan dihidupkan oleh Sabda Allah, dan tubuh dan darah Kristus.Peran sabda dan ekaristi ini dikisahkan dalam penampakan Yesus di Emaus (Luk 24:13-32). Ahli waris pertama keselamatan adalah Gereja.Kristus memenangkan Gereja bagi diri-Nya sendiri dengan menumpahkan darah-Nya sendiri dan menjadikan Gereja itu sebagai pekerja yang bekerja dalam penyelamatan dunia. Universalitas keselamatan Kristus untuk dunia ini berarti bahwa keselamatan itu tidak hanya dianugerahkan kepada orang yang secara eksplisit percaya akan Kristus dan telah masuk anggota Gereja.

2.2.3. Gereja sebagai Tubuh Kristus
Berkat ciri katolik setiap bagian Gereja menyumbangkan kepunyannya sendiri kepada bagian-bagian lainnya dan kepada seluruh Gereja. Maka dalam persekutuan Gereja selayaknya pula terdapat Gereja-Gereja khusus, yang memiliki tradisi mereka sendiri. Maka antara pelbagai bagian Gereja perlu ada kaitan persekutuan yang mesra mengenai kekayaan rohani, para pekerja dalam kerasulan dan bantuan materiil. Sebab para anggota umat Allah dipanggil untuk saling berbagi harta-benda, dan bagi masing-masing Gereja pun berlaku amanat Rasul: “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah” (bdk. 1Ptr 4:10).
Dalam kodrat manusiawi yang disatukan dengan diri-Nya Putera Allah telah mengalahkan maut dengan wafat dan kebangkitan-Nya. Demikian Ia telah menebus manusia dan mengubahnya menjadi ciptaan baru (Gal 6:15; 2Kor 5:17). Sebab Ia telah mengumpulkan saudara-saudara-Nya dari segala bangsa, dan dengan mengaruniakan Roh-Nya Ia secara gaib membentuk mereka menjadi Tubuh-Nya. Dalam Tubuh itu hidup Kristus dicurahkan ke dalam umat beriman.

2.2.4. Gereja sebagai Sakramen Keselamatan Universal
Gereja universal menurut Kitab Suci yaitu: Persatuan dan persaudaraan di dalam Tubuh Gereja oleh Sabda dan Iman yang sama kepada Allah Tritunggal dalam bimbingan Roh Kudus yang sama pula, mewujudkan universalitas karya penyelamata Kristus dalam Tubuh Gereja yang universal. Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, Gereja disebut juga persaudaraan yang tampak dalam kehidupan Gereja purba (Kis 2:44-45; 4:32.34-35).
Gereja universal menurut padangan Gereja yaitu: Tema pokok yang selalu dibicarakan oleh Konstitusi Konsili tentang Gereja adalah “GEREJA” yakni gereja ad intra menyangkut urusan di dalam Tubuh Gereja itu sendiri dan Gereja ad ekstra yaitu urusan di luat Tubuh Gereja yaitu: urusan mengenai Gereja yang menghadapi persoalan-persoalan besar, yang sekarang menjadi pikiran pribadi manusia dan masyarakat serta kebutuhan akan keadilan dan perdamaian.
Gereja universal dalam liturgi yaitu: Liturgi merupakan perayaan ungkapan iman Gereja. Di dalam setiap umat beriman menyatakan hormat, pujian, syukur terima kasih dan permohonannya kepada Allah. Ibadat inilah yang menjadi sarana pengungkapan, peneguhan, ekspresi kebutuhan umat akan imannya kepada allah. Di sini ibadat menjadi bengkel iman kepada Allah Tritungggal.Hal ini terungkap dalam perayaan Ekaristi kudus. Semua kaidah dan ketentuan lain yang berhubungan dengan pelaksanaan Liturgi di dalam Gereja ini sudah diatur dalam Konsili suci tentang Liturgi yang disebut Sacrossactum Concilium.
Gereja universal dalam Katekese yaitu: Katekese merupakan tugas hakiki dari Gereja untuk mewujudkan tugas mulia universal yakni mewartakan Kabar Gembira kepada seluruh jemaat. Gereja memandang katekese sebagai tugas yang suci dan mempunyai hak yang tak dapat diganggu gugat karena katekese merupakan suatu tugas/perintah yang diberikan oleh Tuhan sendiri dalam malanjutkan karya penyelamatan-Nya.

2.3.       Katekis
2.3.1. Identitas  dan Peranan Katekis
Setiap orang Katolik yang telah dibaptis secara pribadi dipanggil oleh Roh Kudus untuk memberikan sumbangannya bagi kedatangan Kerajaan Allah.Dalam keadaan sebagai awam, ada berbagai macam panggilan yang bisa ditempuh baik oleh pribadi maupun kelompok.
Oleh karena itu, pada sumber panggilan katekis, ada panggilan khusus dari Roh Kudus, suatu “karisma khusus yang diakui oleh Gereja” dan diperjelas oleh tugas perutusan dari uskup. Calon katekis perlu menyadari makna adikodrati dan gerejawi dari panggilan ini, sehingga ia bisa menjawab, seperti Putra Allah, “Sungguh, Aku datang” (Ibr 10:7), atau seperti sang nabi, “ini aku, utuslah aku” (Yes 6:8).
Dalam praktek yang sebenarnya, panggilan katekis bersifat khusus, yakni untuk tugas katekese, dan umum, untuk bekerja sama dalam pelayanan kerasulan apa saja yang berguna untuk membangun Gereja. Oleh karena itu, setia katekis harus berusaha menemukan, menangkap secara jelas, dan memupuk panggilannya yang khusus ini.
Hal lain yang terkait dengan persolan mengenai identitas katekis adalah peranan katekis dalam kegiatan misi, suatu peran yang sangat penting dan berdimensi banyak. Pada tempat pertama, katekis berperan menyampaikan secara jelas pesan Kristiani dan menemani para katekumen dan orang-orang Kristen yang baru dibaptis dalam perjalanannya yang menuju kedewasaan iman serta kehidupan sakramental yang penuh. Di samping itu, peran katekis adalah hadir dan menjadi saksi, dan terlibat dalam perkembangan manusia, inkulturasi, dan dialog.
Singkatnya, katekis di wilayah misi mempunyai empat ciri, yaitu: suatu panggilan dari Roh Kudus; suatu tugas perutusan Gereja; bekerja sama dengan tugas perutusan apostolik dari uskup; dan suatu hubungan khusus dengan kegiatan misi ad gentes (kepada segala bangsa).

2.3.2. Gereja dan Maria di Mata Para Calon Katekis
Para katekis adalah anggota Gereja; dan dari Gereja inilah mereka memperoleh amanat untuk menjadi katekis.Sabda telah dipercayakan kepada Gereja untuk dipelihara dengan setia. Sementara itu, pemahaman Gereka akan sabda itu diperdalam dengan bantuan Roh Kudus, dan kemudian diwartakannya kepada seluruh dunia.
Sebagai Umat Allah dan Tubuh Mistik Kristus, Gereja membutuhkan diri para katekis memiliki rasa dan tanggung jawab yang mendalam, sejauh mereka adalah anggota yang hidup dan aktif dari Gereja.Sebagai sakramen keselamatan universal, Gereja berkeinginan untuk menghidupi misterinya dan rahmatnyayang berlipat ganda agar diperkaya oleh itu dan menjadi tanda yang kelihatan bagi masyarakat.Pelayanan katekis tidak pernah merupakan suatu kegiatan individu atau kegiatan yang terpisah, melainkan selalu merupakan kegiatan gerejawi.
Keterbukaan terhadap Gereja terungkap dalam cinta, pengabdian tehadap pelayanan, dan kesediaannya untuk menderita.Para calon katekis nantinya harus ikut serta bertanggung jawab dalam perubahan-perubahan duniawi sepanjang peziarahan Gereja, yang pada hakikatnya bersifat missioner (bdk. Konsili Vatikan II, Ad Gentes, 2; 6; 9), dan bersama dengan Gereja mendambakan persekutuan akhir dengan Kristus sang mempelai.
Mengingat pembaptisan dan panggilan khusus mereka, para katekis yang hidup dalam pergaulan sehari-hari dengan sejumlah orang yang bukan Kristen, sebagaimana halnya yang terjadi di wilayah-wilayah misi, tidak bisa tidak merasa digugah oleh Kristus: “Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini, dan domba-domba ini pun harus Kutuntun juga” (Yoh 10:16); “Pergilah ke seluruh dunia dan beritakanlah Injila kepada segala makhluk” (Mrk 16:15).
Para katekis juga perlu berkembang secara rohaniah dalam kedamaian dan keberanian (bdk. Rm. 12:12). Oleh karena Kristus adalah “damai sejahtera kita” (Ef 2:14), Ia member para rasul-Nya sukacita-Nya sehingga “sukacita mereka menjadi penuh” (Yoh 15:11).
Para katekis harus mampu menjadi pembawa sukacita dan harapan Paskah atas nama Gereja. Dalam kenyataannya, “anugerah yang paling tepat yang dapat diberikan Gereja kepada dunia yang bingung dan tidak tenang pada jaman ini adalah mendidik orang-orang Kristen di dalam dunia ini.Orang-orang Kristen ini diberi keteguhan akan apa yang hakiki dan yang dengan rendah hati bersukacita dalam iman mereka.” (Johannes Paulus II, Catechesi Tradendae, 61, l.c. 1328)
Oleh karena itu, perasaan bersatu dengan Gereja yang tepat untuk spiritualitas katekis terungkap dengan sendirinya dalam cinta yang tulus terhadap Gereja, dalam mengikuti Kristus, yang “mencintai Gereja dan mengorbankan diri-Nya untuk Gereja.”
Melalui panggilan khususnya, Maria sebagai Putra Allah “bertambah besar dalam hikmat dan rahmat” (Luk 2:52).Ia adalah guru yang “mengajari-Nya pengetahuan akan Kitab Suci dan akan rencana kasih Allah bagi umat-Nya, dan juga akan cinta yang mendalam akan Bapa.” (Johanes Paulus II, Catechesi Tradendae 73: l.c.1340). Kita dapat mengatakan secara masuk akal dan dengan penuh kegembiraan bahwa Bunda Maria adalah “katekismus hidup,” “ibu, dan model katekis.” (Johannes Paulus II, Catechesi Tradendae, 61, l.c. 1328)
Spiritualitas katekis, sebagaimana spiritualitas setiap orang Kristen dan khususnya mereka yang terlibat dalam karya kerasulan, akan dipercaya oleh devosi yang mendalam kepada bunda Tuhan. Sebelum menjelaskan kepada orang lain tempat Maria dalam misteri Kristus dan Gereja, (bdk. KGK 487-507; 963-972) mereka harus merasakan kehadirannya dalam hati mereka dan harus memberi kesaksian akan kesucian yang tulus dari Bunda Maria (bdk. KGK 2673-2679), yang akan mereka sampaikan kepada umat. Mereka akan menemukan dalam diri bunda Maria suatu model yang sederhana dan efektif bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain: “Perawan Maria dalam hidupnya telah memberi contoh mengenai kasih ibu yang harus membangkitkan semangat semua orang yang ikut ambil bagian dalam misi kerasulan Gereja demi kelahiran kembali umat manusia” (Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, 65).
Seorang katekis yang berperan sebagai pewarta sabda selalu dikaitkan dengan doa, perayaan ekaristi, dan pembangunan komunitas Kristiani. Komunitas Kristen paling awal merupakan model bagi komunitas ini (bdk. Kis 2-4), yang dipersatukan di sekitar Bunda Maria ibu Yesus (bdk. Kis 1:14).




DAFTAR PUSTAKA

Edwin Nyoman Paska, Paskalis, Dr, 2011, Kompendium Katekismus Gereja Katolik, Malang: Dioma.

IKAPI, anggota DKI Jakarta, 2005, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OFM.

Jacobs, Tom, 1992, Gereja menurut Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius.

JB, Banawiratma, 1986, Gereja dan Masyarakat, Yogyakarta: Kanisius.

Kokoh, Jost,2009, Beriman Bersama Maria, Yogyakarta:Kanisius.

Komkat, Katekese KWI, 1999, Pedoman untuk Katekis, Yogyakarta: Kanisius.

KWI, 1993, Dokumen Konsili Vatikan II (terj. R. Hardowiryana, SJ), Jakarta: Obor.

KWI, 1995, Katekismus Gereja Katolik, Ende: Arnoldus.

KWI, 1999, Iman Katolik (Buku Informasi dan Referensi), Yogyakarta-Jakarta: Kanisius-Obor.

KWI, 2006, Catechesi Tradendae (Penyelenggaraan Katekese), Yogyakarta: Kanisius.

Lembaga Alkitab Indonesia, 2012, Alkitab Deuterokanonika, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.


Situs Web:










0 comments:

Post a Comment