RSS

BUDAYA IMLEK DALAM PANDANGAN GEREJA KRISTIANI


ABSTRAK
Jalan menuju inkulturasi masih panjang, apalagi menyangkut Misa Tahun Baru Imlek. Lingkungan di sekitar ikut mempengaruhi pemahaman yang tepat akan suatu tradisi. Gereja Indonesia tidak luput dari ketegangan, antara mengakomodasi kebutuhan umat Katolik yang masih merayakan Imlek dengan mereka yang sudah tidak merayakan Imlek di satu sisi, dan akan tradisi lain di bumi Nusantara. Jangan karena upaya ini Gereja dianggap sudah dimonopoli oleh kelompok tertentu.
Apa pun yang dirayakan dalam Misa, hendaknya selalu diingat bahwa Misa adalah perayaan syukur, suatu eucharistia, yang berfokus dan berpuncak pada Yesus Kristus. Pada-Nya-lah seluruh liturgi Gereja berpusat. Apakah namanya Misa Imlek, Misa Karismatik, atau pun Misa-misa lain yang memakai budaya tertentu, Misa tetaplah merupakan kenangan akan sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus Yesus. Dan Gereja menjamin bahwa setiap umat mendapatkan hak dan kesempatan yang sama untuk menyambut Tubuh dan Darah Kristus, jaminan keselamatan manusia.



PENGANTAR
Sebelum Konsili Vatikan II, istilah inkulturasi belum dikenal dalam lingkup Gereja. Meskipun demikian, sejak awal kekristenan inkulturasi sudah dijalankan oleh Gereja. Khotbah Santo Paulus kepada orang Yunani di Aeropagus di Atena (Kis 17:22-33) merupakan salah satu usaha inkulturasi. Meskipun akhirnya dia ditertawakan dan ditolak karena mulai masuk ke dalam inti iman: kebangkitan orang mati. Namun usaha inkulturasi tidak berhenti di sini.
Kesalahpahaman terhadap tradisi maupun nilai-nilai kebudayaan China itu bukan saja terjadi pada jaman dahulu. Sampai sekarang pun kesalahpahaman itu tetap ada, bahkan dalam lingkup Gereja. Kerap kali kita mendengar kata-kata: “Saya sudah menerima Kristus, semua tradisi Tionghua tidak perlu lagi, atau sudah dibuang.” Barangkali orang yang mengatakannya mau menunjukkan bahwa bagi dia tidak lagi mengikuti tradisi, atau barangkali juga mau mengatakan bahwa orang tersebut sudah tidak tahu lagi adat istiadat nenek moyangnya.


PENGERTIAN DAN MAKNA LITURGI
Liturgi adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani, leitourgia, yang berarti kerja bersama. Kerja bersama ini mengandung makna peribadatan kepada Allah dan pelaksanaan kasih, dan pada umumnya istilah liturgi lebih banyak digunakan dalam tradisi Kristen, antara lain umat Katolik. Dalam Gereja Katolik, Liturgi adalah kegiatan dari Kristus Paripurna, dalam bahasa Latin Christus totus, atau Kristus seluruhnya, yaitu Kristus di surga sebagai kepala dan seluruh jemaatNya yang masih ada di dunia, yaitu Gereja yang merupakan Tubuh Kristus, dalam korban pujian dan syukur kepada Allah.
Liturgi dirayakan dengan menggunakan pelbagai tanda dan lambang, baik yang berasal dari pengalaman manusia, tanda-tanda "Perjanjian" antara Allah dan umatNya, tanda-tanda yang diangkat oleh Kristus, dan tanda-tanda sakramental, yang semuanya merujuk pada keselamatan yang berasal dari Kristus, menggambarkan dan mencicipi pada masa sekarang kemuliaan surga. Juga dengan menggunakan perkataan (terutama dalam Liturgi Sabda di mana Kitab Suci dibacakan dan direnungkan) dan Tindakan (terkait dengan masing-masing Sakramen: misalnya pembaptisan, pengurapan minyak, Liturgi Ekaristi, penumpangan tangan). Dengan nyanyian dan musik, dan gambar-gambar kudus, misalnya ikon.
Dalam liturgi ekaristi, di Indonesia banyak dijumpai keanekaragaman budaya, kadang musik yang dihadirkan dalam perayaan liturgi ekaristi menyesuaikan adat dan budaya pada suatu daerah. Hal seperti ini sudah menjadi umum asalkan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh Gereja. Hal itu juga dapat berlaku dalam perayaan ekaristi, dimana gereja boleh menghadirkan ekaristi dengan nuansa budaya atau perayaan yang sedang berlangsung. Misalnya, nuansa perayaan tahun baru masehi atau tahun baru imlek. Nuansa-nuansa tersebut boleh dihadirkan dalam liturgi ekaristi asalkan tidak mengurangi makna dari ekaristi itu sendiri.Berikut beberapa makna liturgi ekaristi:
a.           Ekaristi sebagai Kenangan dan Pelaksanaan Karya Penyelamatan Allah
Dengan merayakan Ekaristi, umat beriman mengenangkan Misteri Penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus, dan sekaligus melaksanakan amanat Yesus, “Lakukanlah ini sebagai kenangan akan aku.” Dalam perayaan Ekaristi, kita bukan hanya sekedar mengenang apa yang dibuat oleh Yesus. Lebih dari itu, bersama Yesus kita melaksanakan Karya penyelamatan Allah. Sebab Yesus sendirilah yang hadir dan memimpin perayaan Ekaristi dalam diri Imam. Maka dalam peryayaan Ekaristi, imam bertindak lebih daripada hanya “atas nama” atau sebagai “wakil” saja, melainkan bertindak “dalam Pribadi Yesus.” (Christus Dominus art. 28). Dengan kata lain: Yesuslah yang bersabda dan berkarya dalam Perayaan Ekaristi.
b.      Ekaristi sebagai Wujud Kesatuan dengan Kristus
Dengan mengatakan”Ambillah dan Makanlah, sebab inilah TubuhKu – Ambillah dan Minumlah, sebab ini piala DarahKu”, Kristus mengikat hubungan dengan para murid. Mereka terlibat dalam peristiwa yang diadakan bagi mereka. Maka kita yang menyambut Tubuh dan Darah Kristus (Komuni), kita bersatu dengan Kristus. Yesus sendiri bersabda. “Barang siapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku, dan Aku di dalama dia.”


PENGERTIAN BUDAYA
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya, dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" di Jepang dan "kepatuhan kolektif" di Cina.
Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Di Indonesia, dapat dijumpai keanekaragaman budaya. Hal ini terjadi karena Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan etnis yang membawa kebudayaannya sendiri. Indonesia juga termasuk penyumbang penduduk tionghoa terbanyak. Maka tak heran apabila jatuh tahun baru imlek, Indonesia ikut merayakan dengan ditetapkan tahun baru imlek sebagai libur nasional.  


PERAYAAN TAHUN BARU IMLEK
Tahun Baru China merupakan hari raya yang paling penting dalam masyarakat China. Perayaan Tahun Baru China juga dikenal sebagai 春節 Chūnjié (Festival Musim Semi/Spring Festival), 農曆新年 Nónglì Xīnnián (Tahun Baru), atau 過年
Guòniánatau sin tjia.
Di luar daratan China, Tahun Baru China lebih dikenal sebagai Tahun Baru Imlek. Kata Imlek (: Im=Bulan, Lek=penanggalan) berasal dari dialek Hokkian atau mandarinya yin li yang berarti kalender bulan. Perayaan Tahun Baru Imlek dirayakan pada tanggal 1 hingga tanggal 15 pada bulan ke-1 penanggalan kalender China yang menggabungkan perhitungan matahari, bulan, 2 energi yin-yang, konstelasi bintang atau astrologi shio, 24 musim, dan 5 unsur (festival musim semi).
Dalam masyarakat Tionghoa, hari raya imlek juga bagian dari ucapan syukur karena Tuhan telah memberikan kehidupan yang baik dan memohon untuk selalu diberkati Tuhan dalam menjalani kehidupan ini. Tahun Baru Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa. Perayaan tahun baru imlek dimulai di hari pertama bulan pertama (bahasa Tionghoa: 正月; pinyin: zhēng yuè) di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh 十五冥 元宵 di tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama). Malam tahun baru imlek dikenal sebagai Chúxī yang berarti  “malam pergantian tahun”.
Karena 1/5 penghuni bumi ini adalah orang China, maka Tahun Baru China hampir dirayakan oleh seluruh pelosok dunia dimana terdapat orang China, keturunan China atau pecinan. Di Indonesia sendiri banyak dijumpai kaum tionghoa. Dahulu keberadaan budaya tionghoa di Indonesia ditolak negara. Namun semenjak presiden ke-3 RI yakni Bapak Abdurrahman Wachid (Gusdur), budaya cina seperi perayaan tahun baru imlek diterima. Malahan setiap tahunnya apabila jatuh hari raya Imlek, pemerintah telah menetapkan sebagai hari libur nasional.


PANDANGAN UMAT KRISTIANI TERHADAP BUDAYA IMLEK

·         Bu Katharina – Lingkungan Winongo
Sejauh ini budaya imlek di Gereja Paroki Santo Cornelius dapat diterima baik oleh umat. Misalnya diadakan perayaan misa ekaristi bernuansa budaya imlek. Karena mayoritas umat Gereja Paroki Santo Cornelius adalah kalangan etnis thionghoa. Jadi, belum pernah terjadi kesalahan dan pandangan umat tentang adanya budaya imlek yang ada di Gereja St. Cornelius. Saya sendiri tidak mempersalahkan, karena saya juga menghargai budaya yang timbul dari kalangan umat sendiri yang berasal dari beragam macam etnis.

·         Bu Theresia Subekti –  Winongo
Inkulturasi yang ada di Gereja terkadang memberikan warna tersendiri bagi umat dan Gereja. Apalagi Gereja Paroki Santo Cornelius memiliki banyak suku. Misalnya ada suku Jawa, batak, flores, dan tionghoa. Kalau Gereja Paroki sendiri pernah mengadakan “misa imlek”. Suasana ketika misa penuh dengan warna merah. Misa yang bernuansa imlek di paroki tidak menjadi masalah sebenarnya bagi umat. Karena umat yang non-tionghoa ikut serta dalam perayaan ekaristi.
Paroki sendiri memang merayakan imlek dengan adanya misa hari raya imlek. Jadi, umat selain non-tionghoa turut ambil bagian. Meskipun saya sendiri masih pernah mendengar dari segelintir umat yang mengatakan bahwa misa itu hanya untuk kalangan umat Katolik tionghoa saja. Bagi saya itu salah, karena misa imlek tersebut untuk semua umat, bukan untuk kalangan tertentu, karena inti perayaan misa terpusat pada ekaristinya, bukan suasananya.

·         Pak Budi Utomo
Misa inkulturasi sudah tidak asing didengar oleh kalangan umat, apalagi berkaitan dengan budaya. Saya sendiri melihat bahwa Gereja Paroki Santo Cornelius masih tetap menghargai dan mengadakan misa imlek setiap tahunnya. Misa ini tidak hanya tertutup bagi kalangan umat tionghoa saja, tapi bagi semua saja. Saya sendiri tidak merasa terganggu dengan budaya-budaya yang berkembang dan digabungkan dalam tradisi Gereja sendiri. Misalnya, misa imlek yang sering diadakan setiap tahunnya tentu mau merayakan hari raya besar umat Katolik yang beretnis tionghoa, namun perayaan ekaristinya menjadi tujuan utama bagi setiap umat.
Dengan kata lain, misa imlek bukan berarti misa yang di dalamnya menggunakan lagu-lagu nyanyian dalam bahasa tionghoa, tapi suasananya atau nuansanya yang dibuat berbeda. Misalnya misa perayaan ekaristi pada Hari Kemerdekaan RI.

·         Mgr. Sutikno Wisaksono
Mgr. Sutikno Wisaksono sebenarnya melarang diadakan “Misa Imlek” di setiap Gereja, terlebih di wilayah keuskupan Surabaya. Ada alasan mengapa Mgr. Sutikno melarang keras diadakan Misa Imlek tersebut adalah adanya misa imlek tersebut lebih mengarah pada ritual dari suatu budaya dan etnis. Apalagi sering terlihat bahwa Gereja-Gereja pada saat misa imlek mengadakan perayaan yang sungguh mewah dan besar-besaran.
Misa perayaan imlek tersebut mau mengalahkan perayaan Natal dan Paskah sendiri. Adanya kecenderungan bahwa misa imlek selalu ditampilkan dengan suasana yang mewah, meriah, dan tentunya mengeluarkan banyak biaya. Mgr. Sutikno sendiri tidak menginginkan dan melarang keras diadakan misa imlek di setiap gereja, terlebih wilaya keuskupan Surabaya.

·         RD. Agustinus Supriyadi
Romo Agus mengungkapkan bahwa beliau juga sependapat dengan Mgr. Sutikno Wisaksono, yakni melarang diadakannya Misa Imlek. Di Paroki Materdei sendiri memang tidak pernah merayakan Imlek karena umat Tionghoa sangat minoritas di Paroki MaterDei. Berbeda dengan Paroki Cornelius yang setiap tahunnya selalu merayakan Imlek karena umat Tionghoa banyak dijumpai di Paroki Cornelius. Misa Imlek memang tidak diperbolehkan karena ini sudah anjuran dari Dogma Gereja sendiri yang telah ditetapkan.
Dapat dibaca dalam Redemptionis Sacramentum hal:44, yang mengatakan bahwa: Tidak diijinkan mengaitkan misa dengan peristiwa profan/duniawi/mengaitkan dengan situasi-situasi yang tidak sepenuhnya sesuai dengan ajaran GK. Juga perlu dihindarkan suatu perayaan ekaristi yang hanya dilangsungkan sebagai pertunjukkan/menurut upacara-upacara lain.
Dari pernyataan tersebut Romo Agus menjelaskan yang benar adalah Misa dengan nuansa Imlek. Bukan Misa Imlek. Sebenarnya tidak hanya Misa Imlek saja, Misa yang digabungkan dengan unsur budaya Jawa sebenarnya juga tidak boleh. Misalnya saja, tari Jawa yang digunakan saat persembahan sungguh dilarang oleh Gereja. Mgr. Sutikno mengungkapkan pernyataan tersebut karena secara hakiki monseignur ingin mempertahankan Misa Ekaristi dalam arti sebenarnya. Misa yang sudah ditetapkan dalam ajaran Gereja.
Jika Bapa Uskup Sutikno telah melarang diadakannya Misa Imlek maka sebagai umat Katolik (baik imam maupun awam) yang berdomisili di keuskupan Surabaya wajib menaatinya. Mari kita menghargai kebijaksanaan Bapa Uskup yang mungkin bermaksud mencegah terjadinya percampuran budaya yang simpang siur, di mana ada barongsai masuk gereja, yang tentu tidak sesuai dengan ajaran Kristiani.


KESIMPULAN
Sebelum Konsili Vatikan II, istilah inkulturasi belum dikenal dalam lingkup Gereja. Meskipun demikian, sejak awal kekristenan inkulturasi sudah dijalankan oleh Gereja. Kotbah Santo Paulus kepada orang Yunani di Aeropagus di Atena (Kis 17:22-33) merupakan salah satu usaha inkulturasi. Meskipun akhirnya dia ditertawakan dan ditolak karena mulai masuk ke dalam inti iman: kebangkitan orang mati. Namun usaha inkulturasi tidak berhenti di sini.
Dari lingkungan Yahudi, Gereja lambat laun bergeser masuk ke dalam lingkungan Greco-Romawi dan memakai kebudayaan ini seiring dengan ekspansi Kerajaan Romawi. Melalui usaha St. Sirilus dan Metodius, Gereja abad IX berkenalan dan masuk ke dalam budaya Slavia dengan meninggalkan gaya Greco-Romano. Sayangnya, sesudah itu gerakan Gereja yang dinamis seakan-akan menjadi agak kaku, teristimewa setelah Konsili Trente (1545-1563), karena pelbagai latar belakang, terutama yang mengancam kesatuan Gereja.
Penemuan daerah baru melalui penjelajahan di Amerika dan Asia membuka kesempatan baru bagi Gereja untuk mewartakan Injil kepada bangsa-bangsa di Amerika dan Asia. Secara khusus, pewartaan Injil di Asia mengalami pergulatan besar, karena para misionaris (yang berasal dari Eropa dengan kebudayaannya) harus berhadapan dengan bangsa yang sudah memiliki budaya, tradisi dan agamanya sendiri.
Benturan kebudayaan pun terjadi, baik di India (kontroversi ritus Siro-Malabar) pada abad XVIII, maupun di China (kontroversi ritus China) dari abad XVII-XVIII. Dalam ketegangan seperti ini, misi Gereja seakan-akan terhenti. Secara khusus di China, kontroversi ini malahan membuat Gereja ditolak kehadirannya oleh Kaisar Kangxi. Perbedaan persepsi tentang kebudayaan membuat Paus Klemens XI mengambil keputusan yang membuat Kaisar Kangxi sangat tersinggung yang akhirnya menolak kehadiran Gereja.
Kesalahpahaman terhadap tradisi maupun nilai-nilai kebudayaan China itu bukan saja terjadi pada zaman dahulu. Sampai sekarang pun kesalahpahaman itu tetap ada, bahkan dalam lingkup Gereja. Misalnya saja dengan adanya Misa Tahun Baru Imlek yang sering diadakan oleh setiap Gereja. Tentunya Gereja tersebut mengadakan misa tahun baru imlek dikarenakan lingkup umat Gerejanya mayoritas adalah umat Katolik Tionghoa. Hal ini tentu menjadi terobosan bagi Gereja untuk menggabungkan unsur budaya ke dalam tradisi Gereja.
Gereja Paroki Santo Cornelius Madiun sampai saat ini masih tetap menjalankan Misa Tahun Baru Imlek. Hal ini dikarenakan umatnya terdiri dari kalangan etnis tionghoa. Dengan kata lain, Gereja setempat tidak bisa lepas dengan etnis dan budaya dari umat di sekitarnya. Gereja Katolik tumbuh dan berkembang, karena adanya umat yang berdiam di suatu tempat. Begitu juga halnya dengan Gereja Paroki Mater Dei. Gereja Paroki Mater Dei sendiri tidak pernah lagi mengadakan misa imlek, hal ini dikarenakan jumlah umat Katolik yang beretnis Tionghoa terlalu sedikit. Hal ini tidak memungkinkan bagi Gereja untuk mengadakan misa bernuansa imlek. Apalagi Mgr. Sutikno Wisaksono sendiri sudah memberikan keputusan dan larangan yang tegas dan keras bagi setiap Gereja Katolik yang bernaung di bawah pimpingan keuskupan Surabaya. Karena Mgr. Sutikno Wisaksono tidak mengizinkan adanya Misa Imlek.
Ada banyak alasan-alasan yang kuat disampaikan oleh Beliau. Salah satunya adalah Mgr. Sutikno tidak ingin adanya misa imlek yang dirayakan begitu mewah dan besar-besaran. Perayaan tersebut tentu akan mengalahkan hari raya besar dan utama dalam Gereja, seperti perayaan Natal dan Paskah. Mungkin di keuskupan lainnya masih tetap menjalankan budaya Misa Tahun Baru Imlek, namun di keuskupan Surabaya sudah tidak diperkenankan oleh Mgr. Wisaksono.

0 comments:

Post a Comment