RSS

DINAMIKA KEHIDUPAN KELUARGA BALITA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Hidup dalam persekutuan sebagai suami-isteri mau tidak mau mewujudkan suatu keluarga. Harus siap untuk menerima kedatangan anak-anak, harus siap untuk tampil sebagai keluarga, baik di hadapan saudara-saudara, di hadapan orang tua maupun di hadapan masyarakat pada umumnya. Maka, membangun hidup sebagai suami-isteri membawa juga kewajiban untuk mampu menghadapi siapapun sebagai satu kesatuan dengan pasangannya. Mampu bekerjasama menerima, meme­lihara dan mendewasakan anak, mampu bekerjasama menerima atau da­tang bertamu kepada keluarga-keluarga lain, mampu ikut serta mem­bangun Gereja. Semuanya dilaksanakan dalam suasana kekeluargaan.
Saat ini memang keluarga balita mengalami banyak tantangan atau persoalan khususnya dalam spiritualitas perkawinan, tata kelola ekonomi rumah tangga, dan hidup sosial baik di lingkungan Gereja dan masyarakat. Akan tetapi keluarga Katolik harus dapat bertahan dengan terpaan badai kehidupan ini, maka dibutuhkan pastoral keluarga bagi keluarga balita agar dapat tetap berkeluarga secara Katolik dengan baik dan benar. Kenapa harus dari keluarga balita? Pastoral keluarga ini akan sangat bermanfaat bagi keluarga terutama dalam keluarga keluarga balita yang sering sekali rawan akan percekcokan karena kurang bisa menerima kekurangan yang ada di dalam diri suami-isteri. Pendampingan ini perlu dibiasakan sejak dini karena akan membuat kehidupan keluarga Katolik itu sendiri lebih baik.
Hasil wawancara dengan beberapa keluarga muda membuktikan bahwa memang dibutuhkan pendampingan pastoral keluarga bagi keluarga balita khususnya dalam bidang spiritualitas perkawinan, tata kelola ekonomi rumah tangga, dan hidup sosial baik di lingkungan Gereja atau masyarakat. Selama ini memang hanya ada beberapa keluarga yang datang untuk meminta paroki agar dapat membantu menyelesaikan masalah di dalam keluarganya. Jadi memang pastoral keluarga bagi keluarga balita itu belum diadakan secara rutin dan terstruktur.
Melihat pernyataan di atas, penulis merasa tertarik untuk menulis makalah dengan judul: DINAMIKA KEHIDUPAN KELUARGA BALITA”.
Penulis berharap, agar Gereja dan khususnya para kaum awam lainnya dapat semakin memperhatikan keluarga-keluarga balita yang masih dalam tahap awal dalam membina rumah tangga agar mereka menjadi keluarga yang lebih baik di kemudian hari.


1.2    Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, penulis dapat merumuskan beberapa permasalahan yang hendak dikaji dalam makalah ini yakni sebagai berikut:
1.2.1    Apa pengertian dari keluarga?
1.2.2    Apa pengertian keluarga balita?
1.2.3    Bagaimana dinamika kehidupan yang dialami oleh keluarga balita?
1.2.4    Sejauh mana Gereja memberikan perhatian terhadap keluarga balita?

1.3    Tujuan Penulisan
1.3.1    Menjelaskan pengertian keluarga.
1.3.2    Menjelaskan pengertian keluarga balita.
1.3.3    Menjelaskan dinamika kehidupan yang dialami oleh keluarga balita.
1.3.4    Memberikan penjelasan tentang perhatian yang diberikan oleh Gereja terhadap keluarga balita.

1.4    Metode Penelitian
Dalam skripsi ini peneliti menggunakan metode kualitatif. Sugiyono (2006) berpendapat bahwa “metode kualitatif  yakni penelitian naturalistik, karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting), penelitian langsung dari lapangan.” Alasan peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif ini, yakni karena penelitian kualitatif menekankan keaslian sumber data penelitian (real, konkrit, dan tanpa ada menipulasi data) dari lapangan. Bertitik tolak dari hal tersebut, penelitian kualitatif sangat memberikan peluang besar bagi peneliti untuk mengadakan wawancara atau interview agar dapat bertatap  muka langsung di lapangan dengan responden itu sendiri.


BAB II
DINAMIKA KEHIDUPAN KELUARGA BALITA

2.1    Pengertian Keluarga
Keluarga adalah salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup bersama sebagai satu kesatuan atau unit masyarakat terkecil dan biasanya selalu ada hubungan darah, ikatan perkawinan atau ikatan lainnya, tinggal bersama dalam satu rumah yang dipimpin oleh seorang kepala keluarga dan makan dalam satu periuk. Keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap anggota keluarga (Duvall dan Logan, 1986). Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai peran masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya (Bailon dan Maglaya,1978 ). Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Departemen Kesehatan RI, 1988).

2.1.1        Pengertian Keluarga Katolik
Dasar persekutuan hidup bersama suami-isteri adalah cintakasih, bukan harta atau tubuh, pangkat, kedudukan, jabatan atau hobby dst.. Maka persekutuan suami-isteri antara lain ditandai dengan saling mengenakan cincin pernikahan; cincin bulat, tiada ujung pangkal, awal dan akhir, melambangkan cinta kasih yang tak terbatas dan seutuhnya. Maka suami-isteri berjanji setia untuk saling mengasihi baik dalam untung maupun malang sampai mati alias tidak akan bercerai. Cinta kasih juga tidak diketahui awalnya karena cinta kasih itu berasal dari Allah, dengan kata lain yang mempertemukan atau menyatukan suami-isteri adalah Allah sendiri, maka Yesus bersabda: “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." (Mat 19:6).
Keluarga sebagai gereja kecil atau seperti kata St. Yohanes Christotomus sebagai gereja rumah tangga adalah tempat Yesus Kristus hidup dan berkarya untuk keselamatan manusia dan berkembangnya kerajaan Allah. Angggota-anggota keluarga yang terpanggil untuk iman dan hidup kekal adalah “peserta-peserta dalam lingkup kodrat ilahi” (2 Pet : 4). Artinya setiap anggota keluarga itu mengambil bagian dalam kodrat ilahi. Paus Paulus VI mempertajam pengertian keluarga sebagai gereja kecil dalam ensikliknya Evangelii Nutiandi, beliau menulis: “…Keluarga patut diberi nama yang indah yaitu sebagai Gereja rumah tangga (domestik). Ini berarti bahwa di dalam setiap keluarga Kristiani hendaknya terdapat bermacam-macam segi dari seluruh Gereja.”  Sebagai Gereja, keluarga itu merupakan tubuh Yesus Kristus. Sebagai Gereja juga, setiap keluarga dipanggil untuk menyatakan kasih Allah yang begitu luar biasa baik di dalam maupun di luar keluarga. Oleh karena itu, setiap anggota keluarga diberi makan sabda Allah dan sakramen-sakramen. Mereka pun seharusnya bisa mengungkapkan diri dalam cara pikir dan memiliki tingkah laku yang sesuai dengan semangat injil. 
Keluarga sebagai gereja mini diharapkan menjadi tempat yang baik bagi setiap orang untuk mengalami kehangatan cinta yang tak mementingkan diri sendiri, kesetiaan, sikap saling menghormati dan mempertahankan kehidupan.  Inilah panggilan khas keluarga Kristen dan apabila mereka menyadari panggilannya ini, maka keluarga menjadi persekutuan yang menguduskan, di mana orang belajar menghayati kelemahlembutan, keadilan, belas kasihan, kasih sayang, kemurnian, kedamaian, dan ketulusan hati (bdk. Ef 1: 1-4).

2.2    Pengertian Keluarga Balita
Keluarga Katolik adalah kelompok yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang terikat melalui darah, perkawinan dan adopsi yang dilakukan secara sah. Kelompok tersebut dibentuk atas dasar cinta kasih dan mengisi kehidupannya dengan nilai-nilai ajaran iman Katolik (Yulia Singgih D. Gunarsa & Singgih D. Gunarsa, 2012:46).
Keluarga Katolik di bawah 5 tahun usia perkawinan adalah keluarga yang mulai dibangun selama kurun waktu 0-5 tahun (KWI, 2011:77). Keluarga Katolik di bawah 5 tahun usia perkawinan ini juga bisa disebut keluarga balita. Dalam usia perkawian 0-5 tahun merupakan masa untuk penyesuaian. Sehingga mereka masih rentan terhadap masalah atau konflik di dalam keluarga. Bisa dikatakan bahwa dalam usia ini mereka masih belajar dalam perubahan kehidupan barunya. Pasutri harus dapat semakin mengenal kekurangan pasangan dan menerima segala kekurangan atau kelebihan dari pasangan.
Bisa disimpulkan bahwa keluarga balita adalah keluarga yang baru memasuki usia 0-5 tahun. Kadangkala, keluarga yang memasuki usia ini masih rentan terhadap masalah karena disebabkan oleh berbagai faktor. Biasanya perkawinan baru akan stabil ketika sudah memasuki usia 10 tahun. Hal ini bisa dikatakan wajar, karena mereka mengalami penyesuaian saat awal-awal pernikahan. Kebiasaan hidup mandiri atau hanya mencukupi diri sendiri sekarang berubah menjadi hidup berdua” (Kristiani Haryanti, 2014:35).

2.3    Dinamika Kehidupan Keluarga Balita
Pasangan suami isteri di awal pernikahan merupakan pasangan dengan pola-pola komunikasi dan tingkah laku yang relatif belum mengakar. Dalam keluarga balita permasalahan kompleks yang sering dihadapi oleh pasangan suami isteri adalah mengenai kelahiran anak pertama. Terjadi perubahan jadwal yang harus dialami sewaktu anak pertama lahir. Dibutuhkan waktu yang cukup intensif untuk merawat dan mengasuh anak.hal ini dapat mengganggu keseimbangan intimitas antara suami dan isteri. Yang paling sering dikeluhkan oleh pasangan suami isteri adalah rasa letih yang mereka dapatkan selama merawat dan mengasuh anak. Banyak hal yang perlu melewati perundingan terlebih dahulu sebelum melakukan hal-hal yang di luar biasanya, seperti berlibur, dll.
Begitu pula halnya yang dialami oleh beberapa keluarga balita dewasa ini. Dengan adanya realita keluaga dalam usia 0-5 tahun, dapat dilihat bahwa di dalam usia pernikahan tiga sampai enam bulan, keluarga masih memasuki fase bulan madu. Hal itu ditandai dengan saling membahagiakan pasangan dan berkeyakinan bahwa pernikahan mereka akan bahagia seterusnya (Worthington, 1989:74). Sepasang suami isteri memang telah memulai pernikahan mereka untuk bertujuan akan membentuk keluarga yang utuh dan bahagia. Setelah bulan madu yang singkat mulailah keluarga baru itu mengarungi kehidupan yang tidak mungkin terhindar dari kesalahpahaman, perselisihan, dan pertengkaran.
Memang banyak sekali problem yang ada di dalam keluarga muda, terutama dalam hal komunikasi, perbedaan pendapat, masih terbawa darah muda yaitu mudah emosi. Dalam hal penghayatan spiritualitas perkawinan keluarga-keluarga balita perlu mendapatkan sorotan. Spiritualitas harus ada di dalam keluarga, maka spiritualitas awam sendiri telah mengalir dari teologi keluarga. Itu semua berdasarkan kasih Tuhan kepada manusia dan perintah kasih akan Tuhan dan sesama.
Kebutuhan dasar untuk hidup seperti pangan sandang dan papan pun kadang tak tercukupi (Ignatius Suharyo, 2009: 137). Maka dari, itu keluarga Katolik harus dapat meningkatkan kualitas hidup perekonomiannya agar semua kebutuhan hidup dapat terpenuhi. Inilah yang menjadi salah satu dinamika perjalanan kehidupan keluarga balita di jaman ini. Jika dahulu mereka masih dapat hidup berfoya-foya saat mendapatkan gaji dari hasil keringat sendiri, saat sudah menikah meraka harus berfikir dua kali untuk berfoya-foya karena mereka harus bertanggung-jawab atas kelangsungan dan terpenuhinya kebutuhan rumah tangga yang telah mereka bangun. Keluarga-keluarga katolik perlu menghindari diri dari pola hidup konsumtif, sebaiknya dapat bersedia hidup hemat dan sederhana. selain itu keluarga Katolik seharusnya dapat mengatur keuangan mereka. Pengeluaran jangan sampai melebihi pemasukan per bulannya. Apabila ada sisa uang maka mereka akan membiasakan diri untuk menabung, karena mereka ingin memikirkan masa depan keluarga rumah tangga dan anak mereka.
Dalam 0-5 tahun usia perkawinan ini, keluarga balita menemukan beberapa masalah, yaitu masa penyesuaian, misalnya kebiasaan, waktu, dan aturan-aturan yang dibawa dari keluarga masing-masing serta ketika kelahiran anak pertama, misalnya kesibukan pasca kelahiran, perencanaan untuk masa depan anak dan sebagainya. Di dalam keluarga muda, mereka membawa aturan dan kebiasaan keluarga mereka masing-masing pada keluarga baru mereka.
Pada masa-masa inilah mereka memulai untuk menyesuaikan diri dengan pasangan walaupun sering menemukan kesulitan dan menimbulkan masalah. Salah satu contoh aturan yang berbeda dalam keluarga yang sering dijumpai adalah peran seorang isteri atau perempuan. Sedangkan permasalahan yang terjadi pada saat kelahiran anak pertama yaitu banyak hal yang harus diubah, seperti jadwal kegiatan, perencanaan keuangan dan sikap di dalam keluarga.

2.4    Perhatian Gereja terhadap Keluarga Balita
Sebenarnya Pastoral Gereja sudah sejak lama memberikan perhatian pada keluarga. Namun Gereja mengalami tantangan-tantangan besar yang tiada hentinya terhadap keluarga tradisional Kristiani. Akibat-akibatnya sudah kita ketahui, seperti kemerosotan nilai-nilai kehidupan keluarga sebagai mana nampak dalam kurangnya pemahaman akan sakramentalitas perkawinan (yang disebut oleh St Paulus: “Rahasia ini besar” (Efesus 5:32)), makin maraknya perkawinan campur, hilangnya suasana religius dalam keluarga (doa bersama, membaca Kitab Suci, kurangnya mutu pendidikan iman, dst). Dan berbagai macam kasus dalam keluarga.
Salah satu jasa besar Konsili Vatikan II adalah upaya untuk memperbaharui kehidupan keluarga Kristiani serta mengatasi trend negatif. Sejak itu praktek pastoral keluarga berkembang di seluruh Gereja. Martabat keluarga Kristiani terdapat dalam ajaran bahwa Kristus dan kasih-Nya hadir dalam kebersamaan orang-tua dan anak-anak, serta membawa kebahagiaan yang merupakan perwujudan suatu dunia baru. Setiap orang dipanggil untuk menjadi sempurna seperti Bapa di surga sempurna adanya (Matius 5:48). Seorang membuat pernyataan berikut: “Saya bersyukur bahwa pasangan saya bukanlah orang yang sempurna. Dengan demikian saya dipakai Tuhan untuk ikut menyempurnakan dia. Menyadari kekurangan dan keterbatasan pasangan bukan alasan bagi saya untuk menyesal dan menggerutu. Justru di sanalah Tuhan menunjukkan bagaimana saya harus membantu dia agar semakin sempurna.” Peran untuk saling menyempurnakan merupakan perwujudan tugas untuk saling menjadi “penolong yang sepadan” (Kejadian 2:18).
Pasangan suami isteri menjawab panggilan Allah dengan jalan menikah. Cara mereka mengarungi hidup perkawinan dan keluarga menunjukkan kesetiaan mereka kepada Kerajaan Allah. Dengan saling mengasihi, dalam mengasuh anak-anak dan dalam mengelola dan menggunakan harta milik, pasangan mengungkapkan komitmen mereka kepada Kerajaan Allah. Keluarga-keuarga diharapkan semakin mampu menghadirkan Kerajaan Allah dalam hidupnya. Melalui peran dan pelayanan masing-masing, keluarga-keluarga Kristiani diharapkan hidup berdasarkan kasih yang memang berasal dari Allah, karena hanya Kasih Ilahi yang menguatkan memelihara kehidupan.
Kita sungguh berharap semoga setiap keluarga boleh menjadi kenisah hidup dan kasih sejati bagi generasi yang akan datang. Semoga orang muda menemukan dalam keluarganya dukungan yang kuat bagi keluhuran martabatnya sebagai manusia, dan bertumbuh serta berkembang dalam kebenaran dan kasih. Semoga rahmat Tuhan membimbing pikiran, hati dan perbuatan keluarga-keluarga kita demi kebahagiaan keluarga-keluarga Kristiani serta semua keluarga lainnya.
  

BAB III
PELUANG PASTORAL BAGI KELUARGA BALITA

Pendampingan keluarga hendaknya bersifat realistis, artinya sungguh-sungguh sesuai dengan realitas keluarga balita, tidak didasarkan pada selera pribadi yang mendampingi. Pendampingan keluarga tidak boleh hanya melihat, apalagi menyerah kepada realitas keluarga balita yang didampingi, terlebih bila realitas itu jauh dari idealisme kristiani. Pastoral keluarga bagi keluarga balita bertujuan mengarahkan keluarga balita menuju idealisme hidup keluarga kristiani meskipun idealisme itu tidak pernah dapat dicapai sepenuh-penuhnya.
Paroki mengadakan acara persiapan perkawinan. Dalam acara persiapan perkawinan itu kepada para pasangan calon orang tua disajikan pendidikan dalam hal-hal yang berhubungan dengan hidup dan penyelenggaraan keluarga yang baik. Hal-hal yang berhubungan dengan hidup, meliputi makna perkawinan sebagai panggilan hidup, sakramen perkawinan, moral perkawinan termasuk moral seks dan keluarga berencana, dan pola-pola hubungan dan perilaku yang sehat antara pasangan dalam hidup berkeluarga. Hal-hal yang berhubungan dengan penyelenggaraan keluarga menyangkut masalah ekonomi rumah tangga termasuk pengelolaan keuangan, masalah sosial mencangkup hubungan dengan anggota keluarga dekat dan jauh, serta masyarakat luas, dan masalah pendidikan anak-anak baik dalam perilaku maupun dalam hal keimanan (John Tondowidjojo, 1998: 120).
Fenomena “orangtua bekerja” banyak terjadi dewasa ini. Banyak pasangan suami-isteri tidak lagi hidup dengan cara yang sama seperti orangtua mereka. Mereka harus menemukan cara-cara baru untuk menghadapi tuntutan hidup dalam dunia sekarang. Kiranya kita perlu belajar suatu cara yang baru dalam menata kehidupan keluarga: bekerja dan beribadat, melakukan tugas-tugas harian, dan lain-lain. Semuanya ini harus mendapat waktu dan tempat yang tepat. Dan membiasakan diri untuk hidup dengan cara yang baru ini juga membutuhkan waktu.
Orang menikah bukan untuk mencari kesenangan, melainkan untuk saling melengkapi, saling menyempurnakan, dan saling membahagiakan dalam kasih Allah yang telah berkenan mempersatukan laki-laki dan perempuan. Dengan landasan kasih, suami isteri dipanggil untuk saling membahagiakan, dan kemudian bersama-sama berupaya membagikan kebahagiaan itu kepada seluruh keluarga dan seluruh masyarakat. Dengan demikian, keduanya sungguh menjadi gambar Allah yang sempurna. Dalam Perjanjian Lama, norma cinta kasih diungkapkan dalam bentuk negatif, “Apa yang tidak kau sukai sendiri, janganlah kau perbuat kepada siapapun” (Tobit 4:15). Dalam Perjanjian Baru, norma cinta kasih diungkapkan dalam bentuk positif, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” (Matius 7:12). Aturan ini kiranya merupakan penjabaran dari perintah “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:39). Orang yang mengamalkan hidup saling mengasihi digambarkan Matius seperti orang yang masuk melalui pintu yang sempit. Hal ini hendak menunjukkan betapa sulitnya mengamalkan hidup saling mengasihi itu.
Agar dapat mengamalkan hidup saling mengasihi, baiklah kita mengenal pasangan kita dengan baik. Memang, pada hakikatnya suami isteri memiliki martabat yang sama, “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kejadian 1:27). Tetapi, manusia itu unik dan memiliki perbedaan-perbedaan. Ada perbedaan kodrati yang sudah ada sejak lahir, misalnya jenis kelamin; ada pula perbedaan yang dibentuk, dikonstruksi oleh manusia sebagai hasil dari pendidikan, budaya, kebiasaan, dsb, yakni sifat-sifat yang dapat berubah yang ada pada laki-laki dan perempuan. Agar dapat memahami atau mengenal pribadi pasangan, baiklah kita coba mengumpulkan sifat-sifat apa saja yang dimiliki baik oleh suami maupun isteri. Keunikan atau kekhasan pasangan bukan dimaksudkan sebagai bahan pertentangan dan perselisihan, melainkan untuk sesuatu yang positif, yakni saling mengasihi, melengkapi dan memperkaya. Dengan demikian suami isteri dapat semakin mengembangkan relasi dalam kasih sehingga semakin menemukan kelimpahan dalam hidup perkawinan dan keluarga.


BAB IV
KESIMPULAN

Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa memang dalam hidup berkeluarga itu pasti menghadapi tantangan atau persoalan. Dalam menghayati spiritualitas perkawinan, responden mengalami tantangan atau persoalan terutama dalam hal berdoa bersama di dalam keluarga. Banyak faktor yang menjadi penghambat, contohnya: pekerjaan, tidak mendasari kehidupan keluarga dengan iman dan krisis iman. 
Ada juga tantangan atau persoalan di dalam tata kelola ekonomi rumah tangga. Banyak sekali contoh dari persoalan atau tantangan tersebut, contohnya: saat ini apa-apa serba mahal, pernikahan yang belum matang, target ekonomi yang baik tidak terpenuhi, pegeluaran lebih banyak daripada pemasukan, biaya anak yang banyak, dll. Ada pula tantangan atau persoalan sosial di dalam keluarga. Ada beberapa faktor yang menjadi tantangan atau persoalan tersebut seperti: masyarakat, dimana responden berdomisili di agama mayoritas yang sulit untuk berkomunikasi, sibuk karena pekerjaan maka urusan ke sosial itu kurang, harus bekerja di luar kota sehingga jarang bertemu anak isteri dan kadang juga karena cuaca sehingga untuk melakukan tugas di masyarakat itu sulit.




DAFTAR PUSTAKA

http://www.indocell.net/yesaya/pustaka4/id33.htm
Eminyan, Maurice. 2001. Teologi Keluarga. Yogyakarta: Kanisius
Gilarso, T (Ed). 1996. Pembinaan Persiapan Berkeluarga (Ed). Membangun Keluarga Kristiani. Yogyakarta: Kanisius.
Raharso, Catur. 2006. Paham Perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik. Malang: Dioma.
Sugeng, Gregorios. 2015. Pastoral Keluarga bagi Pasutri Muda dalam Bidang Spiritualitas, Ekonomi dan Sosial di Paroki St. Cornelius Madiun. Madiun: Karya tidak diterbitkan.

0 comments:

Post a Comment