BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Hidup
dalam persekutuan sebagai suami-isteri mau tidak mau mewujudkan suatu keluarga.
Harus siap untuk menerima kedatangan anak-anak, harus siap untuk tampil sebagai
keluarga, baik di hadapan saudara-saudara, di hadapan orang tua maupun di
hadapan masyarakat pada umumnya. Maka, membangun hidup sebagai suami-isteri
membawa juga kewajiban untuk mampu menghadapi siapapun sebagai satu kesatuan
dengan pasangannya. Mampu bekerjasama menerima, memelihara dan mendewasakan
anak, mampu bekerjasama menerima atau datang bertamu kepada keluarga-keluarga
lain, mampu ikut serta membangun Gereja. Semuanya dilaksanakan dalam suasana
kekeluargaan.
Saat
ini memang keluarga balita
mengalami banyak tantangan atau persoalan khususnya dalam spiritualitas
perkawinan, tata kelola ekonomi rumah tangga, dan hidup sosial baik di
lingkungan Gereja dan masyarakat. Akan tetapi keluarga Katolik harus dapat
bertahan dengan terpaan badai kehidupan ini, maka dibutuhkan pastoral keluarga
bagi keluarga balita agar dapat tetap berkeluarga secara Katolik dengan baik
dan benar. Kenapa harus dari keluarga balita? Pastoral keluarga ini akan sangat
bermanfaat bagi keluarga terutama dalam keluarga keluarga balita yang sering
sekali rawan akan percekcokan karena kurang bisa menerima kekurangan yang ada
di dalam diri suami-isteri.
Pendampingan ini perlu dibiasakan sejak dini karena akan membuat kehidupan
keluarga Katolik itu sendiri lebih baik.
Hasil
wawancara dengan beberapa keluarga
muda membuktikan bahwa memang dibutuhkan pendampingan pastoral keluarga bagi keluarga balita
khususnya dalam bidang spiritualitas perkawinan, tata kelola ekonomi rumah
tangga, dan hidup sosial baik di lingkungan Gereja atau masyarakat. Selama ini
memang hanya ada beberapa keluarga yang datang untuk meminta paroki agar dapat
membantu menyelesaikan masalah di dalam keluarganya. Jadi memang pastoral
keluarga bagi keluarga balita itu belum diadakan secara rutin dan terstruktur.
Melihat
pernyataan di atas, penulis
merasa tertarik untuk menulis makalah
dengan judul: “DINAMIKA
KEHIDUPAN KELUARGA BALITA”.
Penulis
berharap, agar Gereja dan khususnya para
kaum awam lainnya dapat semakin memperhatikan keluarga-keluarga balita yang
masih dalam tahap awal dalam membina rumah tangga agar mereka menjadi keluarga yang
lebih baik di kemudian hari.
1.2 Rumusan
Masalah
Bertitik tolak dari latar
belakang masalah di atas, penulis dapat merumuskan beberapa permasalahan yang hendak dikaji dalam makalah
ini yakni sebagai berikut:
1.2.1
Apa
pengertian dari keluarga?
1.2.2
Apa
pengertian keluarga balita?
1.2.3
Bagaimana
dinamika kehidupan yang dialami oleh keluarga balita?
1.2.4
Sejauh
mana Gereja memberikan perhatian terhadap keluarga balita?
1.3 Tujuan
Penulisan
1.3.1
Menjelaskan
pengertian keluarga.
1.3.2
Menjelaskan
pengertian keluarga balita.
1.3.3
Menjelaskan
dinamika kehidupan yang dialami oleh keluarga balita.
1.3.4
Memberikan
penjelasan tentang perhatian yang diberikan oleh Gereja terhadap keluarga
balita.
1.4 Metode
Penelitian
Dalam skripsi ini peneliti menggunakan metode kualitatif. Sugiyono (2006) berpendapat bahwa “metode
kualitatif yakni
penelitian naturalistik, karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang
alamiah (natural setting),
penelitian langsung dari lapangan.” Alasan peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif
ini, yakni karena penelitian kualitatif menekankan keaslian sumber data
penelitian (real, konkrit, dan tanpa
ada menipulasi data) dari lapangan. Bertitik tolak dari hal tersebut,
penelitian kualitatif sangat memberikan
peluang besar bagi peneliti untuk mengadakan wawancara
atau interview agar dapat
bertatap muka langsung di lapangan
dengan responden itu sendiri.
BAB
II
DINAMIKA
KEHIDUPAN KELUARGA BALITA
2.1 Pengertian
Keluarga
Keluarga
adalah salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup bersama sebagai
satu kesatuan atau unit masyarakat terkecil dan biasanya selalu ada hubungan darah,
ikatan perkawinan atau ikatan lainnya, tinggal bersama dalam satu rumah yang
dipimpin oleh seorang kepala keluarga dan makan dalam satu periuk. Keluarga
adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang
bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan
perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap anggota keluarga
(Duvall dan Logan, 1986). Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup
dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan, atau adopsi.
Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai peran masing-masing
dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya (Bailon dan Maglaya,1978 ).
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala
keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah
satu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Departemen Kesehatan RI, 1988).
2.1.1
Pengertian Keluarga Katolik
Dasar persekutuan hidup bersama suami-isteri adalah cintakasih,
bukan harta atau tubuh, pangkat, kedudukan, jabatan atau hobby dst.. Maka
persekutuan suami-isteri antara lain ditandai dengan saling mengenakan cincin
pernikahan; cincin bulat, tiada ujung pangkal, awal dan akhir, melambangkan
cinta kasih yang tak terbatas dan seutuhnya. Maka suami-isteri berjanji setia
untuk saling mengasihi baik dalam untung maupun malang sampai mati alias tidak
akan bercerai. Cinta kasih juga tidak diketahui awalnya karena cinta kasih itu
berasal dari Allah, dengan kata lain yang mempertemukan atau menyatukan
suami-isteri adalah Allah sendiri, maka Yesus bersabda: “Demikianlah mereka bukan
lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak
boleh diceraikan manusia." (Mat 19:6).
Keluarga sebagai gereja kecil atau seperti kata St. Yohanes
Christotomus sebagai gereja rumah tangga adalah tempat Yesus Kristus hidup dan
berkarya untuk keselamatan manusia dan berkembangnya kerajaan Allah.
Angggota-anggota keluarga yang terpanggil untuk iman dan hidup kekal adalah “peserta-peserta
dalam lingkup kodrat ilahi” (2 Pet : 4). Artinya setiap anggota keluarga itu
mengambil bagian dalam kodrat ilahi. Paus Paulus VI mempertajam pengertian
keluarga sebagai gereja kecil dalam ensikliknya Evangelii
Nutiandi, beliau menulis: “…Keluarga patut diberi
nama yang indah yaitu sebagai Gereja rumah tangga (domestik). Ini berarti bahwa
di dalam setiap keluarga Kristiani hendaknya terdapat bermacam-macam segi dari
seluruh Gereja.” Sebagai Gereja, keluarga itu merupakan tubuh Yesus Kristus. Sebagai Gereja juga, setiap keluarga dipanggil untuk menyatakan kasih Allah
yang begitu luar biasa baik di dalam maupun di luar keluarga. Oleh karena itu,
setiap anggota keluarga diberi makan sabda Allah dan sakramen-sakramen. Mereka
pun seharusnya bisa mengungkapkan diri dalam cara pikir dan memiliki tingkah
laku yang sesuai dengan semangat injil.
Keluarga sebagai gereja mini diharapkan menjadi tempat yang baik
bagi setiap orang untuk mengalami kehangatan cinta yang tak mementingkan
diri sendiri, kesetiaan, sikap saling menghormati dan mempertahankan
kehidupan. Inilah panggilan khas keluarga Kristen dan apabila mereka
menyadari panggilannya ini, maka keluarga menjadi persekutuan yang menguduskan,
di mana orang belajar menghayati kelemahlembutan, keadilan, belas kasihan,
kasih sayang, kemurnian, kedamaian, dan ketulusan hati (bdk. Ef 1: 1-4).
2.2 Pengertian
Keluarga Balita
Keluarga
Katolik adalah kelompok yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang terikat
melalui darah, perkawinan dan adopsi yang dilakukan secara sah. Kelompok
tersebut dibentuk atas dasar cinta kasih dan mengisi kehidupannya dengan
nilai-nilai ajaran iman Katolik (Yulia Singgih D. Gunarsa & Singgih D. Gunarsa,
2012:46).
Keluarga
Katolik di bawah 5 tahun usia perkawinan adalah keluarga yang mulai dibangun
selama kurun waktu 0-5 tahun (KWI, 2011:77). Keluarga Katolik di bawah 5 tahun
usia perkawinan ini juga bisa disebut keluarga balita. Dalam usia perkawian 0-5 tahun merupakan masa
untuk penyesuaian. Sehingga mereka masih rentan terhadap masalah atau konflik
di dalam keluarga. Bisa dikatakan bahwa dalam usia ini mereka masih belajar
dalam perubahan kehidupan barunya. Pasutri harus dapat semakin mengenal
kekurangan pasangan dan menerima segala kekurangan atau kelebihan dari
pasangan.
Bisa
disimpulkan bahwa keluarga balita adalah keluarga yang baru memasuki usia 0-5
tahun. Kadangkala, keluarga yang memasuki usia ini masih rentan terhadap
masalah karena disebabkan oleh berbagai faktor. Biasanya perkawinan baru akan
stabil ketika sudah memasuki usia 10 tahun. Hal ini bisa dikatakan wajar,
karena mereka mengalami penyesuaian saat awal-awal pernikahan. Kebiasaan hidup
mandiri atau hanya mencukupi diri sendiri sekarang berubah menjadi hidup
berdua” (Kristiani Haryanti, 2014:35).
2.3 Dinamika
Kehidupan Keluarga Balita
Pasangan suami isteri di awal pernikahan merupakan
pasangan dengan pola-pola komunikasi dan tingkah laku yang relatif belum
mengakar. Dalam keluarga balita permasalahan kompleks yang sering dihadapi oleh
pasangan suami isteri adalah mengenai kelahiran anak pertama. Terjadi perubahan
jadwal yang harus dialami sewaktu anak pertama lahir. Dibutuhkan waktu yang
cukup intensif untuk merawat dan mengasuh anak.hal ini dapat mengganggu
keseimbangan intimitas antara suami dan isteri. Yang paling sering dikeluhkan
oleh pasangan suami isteri adalah rasa letih yang mereka dapatkan selama
merawat dan mengasuh anak. Banyak hal yang perlu melewati perundingan terlebih
dahulu sebelum melakukan hal-hal yang di luar biasanya, seperti berlibur, dll.
Begitu pula halnya yang dialami oleh beberapa keluarga
balita dewasa ini. Dengan adanya
realita keluaga dalam usia 0-5 tahun, dapat dilihat bahwa di dalam usia
pernikahan tiga sampai enam bulan, keluarga masih memasuki fase bulan madu. Hal
itu ditandai dengan saling membahagiakan pasangan dan berkeyakinan bahwa
pernikahan mereka akan bahagia seterusnya (Worthington, 1989:74). Sepasang suami isteri memang telah memulai
pernikahan mereka untuk bertujuan akan membentuk keluarga yang utuh dan
bahagia. Setelah bulan madu yang singkat mulailah keluarga baru itu mengarungi
kehidupan yang tidak mungkin terhindar dari kesalahpahaman, perselisihan, dan
pertengkaran.
Memang
banyak sekali problem yang ada di dalam keluarga muda, terutama dalam hal
komunikasi, perbedaan pendapat, masih terbawa darah muda yaitu mudah emosi. Dalam hal penghayatan spiritualitas perkawinan
keluarga-keluarga balita perlu mendapatkan sorotan. Spiritualitas
harus ada di dalam keluarga, maka spiritualitas awam sendiri telah mengalir
dari teologi keluarga. Itu semua berdasarkan kasih Tuhan kepada manusia dan
perintah kasih akan Tuhan dan sesama.
Kebutuhan
dasar untuk hidup seperti pangan sandang dan papan pun kadang tak tercukupi
(Ignatius Suharyo, 2009: 137). Maka dari, itu keluarga Katolik harus dapat
meningkatkan kualitas hidup perekonomiannya agar semua kebutuhan hidup dapat
terpenuhi. Inilah yang menjadi
salah satu dinamika perjalanan kehidupan keluarga balita di jaman ini. Jika dahulu mereka masih dapat hidup berfoya-foya saat mendapatkan gaji
dari hasil keringat sendiri, saat sudah menikah meraka harus berfikir dua kali
untuk berfoya-foya karena mereka harus bertanggung-jawab atas kelangsungan dan
terpenuhinya kebutuhan rumah tangga yang telah mereka bangun. Keluarga-keluarga
katolik perlu menghindari diri dari pola hidup konsumtif, sebaiknya dapat
bersedia hidup hemat dan sederhana. selain
itu keluarga Katolik seharusnya dapat mengatur keuangan mereka. Pengeluaran
jangan sampai melebihi pemasukan per bulannya. Apabila ada sisa uang maka mereka akan membiasakan diri
untuk menabung, karena mereka ingin memikirkan masa depan keluarga rumah tangga
dan anak mereka.
Dalam
0-5 tahun usia perkawinan ini, keluarga balita menemukan beberapa
masalah, yaitu masa penyesuaian, misalnya kebiasaan, waktu, dan aturan-aturan
yang dibawa dari keluarga masing-masing serta ketika kelahiran anak pertama,
misalnya kesibukan pasca kelahiran, perencanaan untuk masa depan anak dan
sebagainya. Di dalam keluarga muda, mereka membawa aturan dan kebiasaan
keluarga mereka masing-masing pada keluarga baru mereka.
Pada masa-masa inilah mereka memulai untuk
menyesuaikan diri dengan pasangan walaupun sering menemukan kesulitan dan
menimbulkan masalah. Salah satu contoh aturan yang berbeda dalam keluarga yang
sering dijumpai adalah peran seorang isteri atau perempuan. Sedangkan
permasalahan yang terjadi pada saat kelahiran anak pertama yaitu banyak hal
yang harus diubah, seperti jadwal kegiatan, perencanaan keuangan dan sikap di
dalam keluarga.
2.4 Perhatian
Gereja terhadap Keluarga Balita
Sebenarnya Pastoral Gereja sudah sejak lama
memberikan perhatian pada keluarga. Namun Gereja mengalami tantangan-tantangan
besar yang tiada hentinya terhadap keluarga tradisional Kristiani.
Akibat-akibatnya sudah kita ketahui, seperti kemerosotan nilai-nilai kehidupan
keluarga sebagai mana nampak dalam kurangnya pemahaman akan sakramentalitas
perkawinan (yang disebut oleh St Paulus: “Rahasia ini besar” (Efesus 5:32)),
makin maraknya perkawinan campur, hilangnya suasana religius dalam keluarga
(doa bersama, membaca Kitab Suci, kurangnya mutu pendidikan iman, dst). Dan
berbagai macam kasus dalam keluarga.
Salah satu jasa besar Konsili Vatikan II adalah upaya untuk memperbaharui kehidupan
keluarga Kristiani serta mengatasi trend
negatif. Sejak itu praktek pastoral keluarga berkembang di seluruh Gereja.
Martabat keluarga Kristiani terdapat dalam ajaran bahwa Kristus dan kasih-Nya
hadir dalam kebersamaan orang-tua dan
anak-anak, serta membawa kebahagiaan yang merupakan perwujudan suatu dunia
baru. Setiap orang dipanggil untuk menjadi sempurna seperti Bapa di surga
sempurna adanya (Matius 5:48). Seorang membuat pernyataan berikut: “Saya
bersyukur bahwa pasangan saya bukanlah orang yang sempurna. Dengan demikian
saya dipakai Tuhan untuk ikut menyempurnakan dia. Menyadari kekurangan dan
keterbatasan pasangan bukan alasan bagi saya untuk menyesal dan menggerutu.
Justru di sanalah Tuhan menunjukkan bagaimana saya harus membantu dia agar
semakin sempurna.” Peran untuk saling menyempurnakan merupakan perwujudan tugas
untuk saling menjadi “penolong yang sepadan” (Kejadian 2:18).
Pasangan suami isteri menjawab panggilan Allah
dengan jalan menikah. Cara mereka mengarungi hidup perkawinan dan keluarga
menunjukkan kesetiaan mereka kepada Kerajaan Allah. Dengan saling mengasihi,
dalam mengasuh anak-anak dan dalam mengelola dan menggunakan harta milik,
pasangan mengungkapkan komitmen mereka kepada Kerajaan Allah. Keluarga-keuarga
diharapkan semakin mampu menghadirkan Kerajaan Allah dalam hidupnya. Melalui
peran dan pelayanan masing-masing, keluarga-keluarga Kristiani diharapkan hidup
berdasarkan kasih yang memang berasal dari Allah, karena hanya Kasih Ilahi yang
menguatkan memelihara kehidupan.
Kita sungguh berharap semoga setiap keluarga
boleh menjadi kenisah hidup dan kasih sejati bagi generasi yang akan datang.
Semoga orang muda menemukan dalam keluarganya dukungan yang kuat bagi keluhuran
martabatnya sebagai manusia, dan bertumbuh serta berkembang dalam kebenaran dan
kasih. Semoga rahmat Tuhan membimbing pikiran, hati dan perbuatan
keluarga-keluarga kita demi kebahagiaan keluarga-keluarga Kristiani serta semua
keluarga lainnya.
BAB
III
PELUANG
PASTORAL BAGI KELUARGA BALITA
Pendampingan
keluarga hendaknya bersifat realistis, artinya sungguh-sungguh sesuai dengan
realitas keluarga balita, tidak didasarkan pada selera pribadi yang
mendampingi. Pendampingan keluarga tidak boleh hanya melihat, apalagi menyerah
kepada realitas keluarga balita yang didampingi, terlebih bila realitas itu
jauh dari idealisme kristiani. Pastoral keluarga bagi keluarga balita bertujuan
mengarahkan keluarga balita menuju idealisme hidup keluarga kristiani meskipun
idealisme itu tidak pernah dapat dicapai sepenuh-penuhnya.
Paroki
mengadakan acara persiapan perkawinan. Dalam acara persiapan perkawinan itu
kepada para pasangan calon orang tua disajikan pendidikan dalam hal-hal yang
berhubungan dengan hidup dan penyelenggaraan keluarga yang baik. Hal-hal yang
berhubungan dengan hidup, meliputi makna perkawinan sebagai panggilan hidup,
sakramen perkawinan, moral perkawinan termasuk moral seks dan keluarga
berencana, dan pola-pola hubungan dan perilaku yang sehat antara pasangan dalam
hidup berkeluarga. Hal-hal yang berhubungan dengan penyelenggaraan keluarga
menyangkut masalah ekonomi rumah tangga termasuk pengelolaan keuangan, masalah
sosial mencangkup hubungan dengan anggota keluarga dekat dan jauh, serta
masyarakat luas, dan masalah pendidikan anak-anak baik dalam perilaku maupun
dalam hal keimanan (John Tondowidjojo, 1998: 120).
Fenomena “orangtua bekerja” banyak terjadi dewasa
ini. Banyak pasangan suami-isteri tidak lagi hidup dengan cara yang sama
seperti orangtua mereka. Mereka harus menemukan cara-cara baru untuk menghadapi
tuntutan hidup dalam dunia sekarang. Kiranya kita perlu belajar suatu cara yang
baru dalam menata kehidupan keluarga: bekerja dan beribadat, melakukan
tugas-tugas harian, dan lain-lain. Semuanya ini harus mendapat waktu dan tempat
yang tepat. Dan membiasakan diri untuk hidup dengan cara yang baru ini juga
membutuhkan waktu.
Orang menikah bukan untuk mencari kesenangan,
melainkan untuk saling melengkapi, saling menyempurnakan, dan saling
membahagiakan dalam kasih Allah yang telah berkenan mempersatukan laki-laki dan
perempuan. Dengan landasan kasih, suami isteri dipanggil untuk saling
membahagiakan, dan kemudian bersama-sama berupaya membagikan kebahagiaan itu
kepada seluruh keluarga dan seluruh masyarakat. Dengan demikian, keduanya
sungguh menjadi gambar Allah yang sempurna. Dalam Perjanjian Lama, norma cinta
kasih diungkapkan dalam bentuk negatif, “Apa yang tidak kau sukai sendiri,
janganlah kau perbuat kepada siapapun” (Tobit 4:15). Dalam Perjanjian Baru,
norma cinta kasih diungkapkan dalam bentuk positif, “Segala sesuatu yang
kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada
mereka” (Matius 7:12). Aturan ini kiranya merupakan penjabaran dari
perintah “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:39).
Orang yang mengamalkan hidup saling mengasihi digambarkan Matius seperti
orang yang masuk melalui pintu yang sempit. Hal ini hendak menunjukkan betapa
sulitnya mengamalkan hidup saling mengasihi itu.
Agar dapat mengamalkan hidup saling mengasihi,
baiklah kita mengenal pasangan kita dengan baik. Memang, pada hakikatnya suami
isteri memiliki martabat yang sama, “Maka Allah menciptakan manusia itu
menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan
perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kejadian 1:27). Tetapi, manusia itu unik
dan memiliki perbedaan-perbedaan. Ada perbedaan kodrati yang sudah ada sejak
lahir, misalnya jenis kelamin; ada pula perbedaan yang dibentuk, dikonstruksi oleh
manusia sebagai hasil dari pendidikan, budaya, kebiasaan, dsb, yakni
sifat-sifat yang dapat berubah yang ada pada laki-laki dan perempuan. Agar
dapat memahami atau mengenal pribadi pasangan, baiklah kita coba mengumpulkan
sifat-sifat apa saja yang dimiliki baik oleh suami maupun isteri. Keunikan atau
kekhasan pasangan bukan dimaksudkan sebagai bahan pertentangan dan
perselisihan, melainkan untuk sesuatu yang positif, yakni saling mengasihi,
melengkapi dan memperkaya. Dengan demikian suami isteri dapat semakin
mengembangkan relasi dalam kasih sehingga semakin menemukan kelimpahan dalam
hidup perkawinan dan keluarga.
BAB IV
KESIMPULAN
Dari
hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa memang dalam hidup berkeluarga itu
pasti menghadapi tantangan atau persoalan. Dalam menghayati spiritualitas
perkawinan,
responden mengalami tantangan atau persoalan terutama dalam hal berdoa bersama
di dalam keluarga. Banyak
faktor yang menjadi penghambat, contohnya:
pekerjaan, tidak mendasari kehidupan keluarga dengan iman dan krisis iman.
Ada
juga tantangan atau persoalan di dalam tata kelola ekonomi rumah tangga. Banyak
sekali contoh dari persoalan atau tantangan tersebut, contohnya: saat ini
apa-apa serba mahal, pernikahan yang belum matang, target ekonomi yang baik
tidak terpenuhi, pegeluaran lebih banyak daripada pemasukan, biaya anak yang
banyak, dll. Ada
pula tantangan atau persoalan sosial di dalam keluarga. Ada beberapa faktor
yang menjadi tantangan atau persoalan tersebut seperti: masyarakat, dimana
responden berdomisili di agama mayoritas yang sulit untuk berkomunikasi,
sibuk karena pekerjaan maka urusan ke sosial itu kurang, harus bekerja di luar kota sehingga jarang bertemu anak isteri
dan kadang juga karena cuaca sehingga untuk melakukan tugas di masyarakat itu
sulit.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.indocell.net/yesaya/pustaka4/id33.htm
Eminyan, Maurice. 2001. Teologi Keluarga. Yogyakarta: Kanisius
Gilarso, T (Ed). 1996. Pembinaan Persiapan Berkeluarga (Ed).
Membangun Keluarga Kristiani. Yogyakarta: Kanisius.
Raharso, Catur. 2006. Paham Perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik. Malang: Dioma.
Sugeng, Gregorios. 2015.
Pastoral Keluarga bagi Pasutri Muda dalam
Bidang Spiritualitas, Ekonomi dan Sosial di Paroki St. Cornelius Madiun.
Madiun: Karya tidak diterbitkan.
0 comments:
Post a Comment